Rabu, 22 Mei 2013

Selembut Sutera

Selembut Sutera

                 Suatu desa yang tenang, jauh dari keramaian dan kebisingan kota menjadi tempatku untuk menenangkan diri. Segala yang kulewati terasa berat saat semua telah berakhir. Aku masih terngiang akan kenangan-kenanganku bersamanya. Betapa indah saat aku bisa selalu ada disampingnya. Namun semua telah berakhir.
                Aku beranjak dari kursi goyang yang telah satu jam kududuki, kursi goyang yang dulunya menjadi tempat favorit almarhumah nenek. Aku berjalan menuju halaman rumah, mencoba mencari tempat yang baru untuk melepas penat. Kutemukan sebuah kursi batu dihalaman samping, kemudian kutemukan dedaunan kering diatas kursi batu tersebut, segera kubersihkan agar aku bisa duduk dan kembali terbuai dalam kenangan masa lalu.
                Satu tahun yang lalu saat semua masih terasa indah, aku merasakan kasih sayang yang amat besar dari seorang Dilan, lelaki yang menjadi tokoh utama dalam cerita masa laluku. Wajahnya yang ganteng itu selalu menghantui fikiranku. Terkadang dalam sepiku aku membayangkan ukiran senyum manis diwajah Dilan yang dulu sering aku dapatkan. Begitu manis cerita cintaku bersama Dilan yang akhirnya kandas karena keputusan bodohku.
                                                                                                ***
                Dilan merupakan sosok lelaki yang jauh dari agama. Dia senang dengan kehidupannya yang bebas, tanpa aturan-aturan yang menurutnya sangat mengekang. Dia urakan, sering berbicara kasar, bahkan ia tak punya empati sedikitpun dengan orang-orang disekitarnya. Pertama aku mengenalnya aku sangat tidak suka, bahkan aku membenci dirinya. Namun semakin hari aku merasakan ada yang aneh dari diri Dilan. Dilan mulai mendekatiku, dan mengubah caranya dalam berperilaku dihadapan perempuan khususnya aku. Dia mencoba mengajakku berkenalan walau aku sering jutek. Aku juga tidak tahu mengapa Dilan sampai tertarik kepadaku. Aku tidak merasa cantik ataupun lebih dari wanita-wanita lain, aku wanita biasa bahkan aku adalah wanita berkerudung. Awalnya aku tidak terlalu menggubris usaha Dilan mendekatiku, aku tahu Dilan tidak suka wanita bererudung, dia suka wanita yang gesit dan lincah, tidak seperti aku wanita yang pendiam dan jutek.
                Disuatu sore yang mendung, aku bertemu Dilan di masjid kampus. Sontak aku kaget, aku tidak pernah melihat Dilan dimasjid bahkan melakukan ibadah disana. Yang aku tahu Dilan itu suka berkumpul bersama teman-temannya di tempat biasa ia nongkrong dikampus. Apa ini sebuah keajaiban? Lalu aku dikejutkan oleh suara yang tak asing ditelingaku. Dilan memanggilku, dia menyadarkanku dari lamunanku. Astaga, saat itu aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bengong saat melihat Dilan yang tiba-tiba telah berada dihadapanku. Dan kamipun terlibat percakapan singkat.
                “Nisa, kamu kenapa hanya berdiri disini? Ga solat?”
                “Oh aku, emm aku, iya aku mau solat kok”
                “Yaudah sana segera, aku mau pulang, assalamualaikum”
                “Waalaikumussalam”
                Bagaimana bisa ini dipercaya, bagaikan mimpi. Dilan menyapaku, menyuruhku segera solat, dan berpamitan mengucapkan salam kepadaku. Ini salah satu bentuk kebesaran-Nya, Dilan telah mendapat hidayah.
                Aku pun selesai melaksanakan solat. Seperti biasa aku pulang melewati jalan yang berada disamping masjid. Hal yang tak aku duga, Dilan menungguku dan mengajakku pulang bersama. Jelas aku tak bisa, aku belum sepenuhnya memercayai seorang Dilan.
                “Nisa, pulang bareng yuk”
                “Maaf Dilan, aku ga mau ngerepotin kamu, lagian kostanku dekat dari sini kok”
                “Nisa, maaf aku... aku suka sama kamu” seketika mendengar ucapan Dilan tersebut aku mematung, aku mimpi atau apa, tapi barusan Dilan benar-benar mengatakan kalau dia suka aku. Mengapa bisa? Aku wanita yang berbeda dari teman-teman wanitanya.
                “Dilan, kamu apa-apaan sih. Ga lucu bercandanya”
                “Aku ga bercanda. Salah ya kalo aku suka sama kamu? Aku suka karna kamu berbeda dari wanita-wanita yang lain”
                “Ga salah kok, sekedar suka kan? Kamu ga salah” aku berusaha menghargai Dilan
                “Salah satu yang bikin aku suka kamu, kamu bicaranya halus dan lembut, tidak seperti teman-teman wanitaku” ujar Dilan seraya menundukkan kepalanya. Entah itu karena ia malu mengatakannya atau sedang berbohong. Namun, aku tidak meyalahkan ucapannya, dari kecil aku telah diajarkan oleh bundaku untuk menjadi wanita yang lembut.
                “Makasih Dilan. Aku pulang dulu ya, assalamualaikum”
                “Waalaikumussalam, hati-hati ya” ujar Dilan lembut. Aku tak penah mendengar Dilan berbicara selembut itu. Apakah Dilan benar-benar berubah? Semoga saja benar.
                Dari percakapan-percakapan singkatku bersama Dilan dan kedekatanku bersama Dilan yang udah berjalan tiga bulan, tumbuh benih-benih cinta dalam diriku. Dilan benar-benar berubah, dia menjadi sosok lelaki yang taat beribadah dan penampilannya pun berubah total, serta tutur katanya tak lagi kasar. Semua perubahan itu berawal dari rasa kagum Dilan terhadapku.
                “Nisa, aku berubah karna kamu” Dilan membuka pembicaraan diantara kami dalam perjalanan pulang.
                “Kenapa?”
                “Aku kagum sama kamu, aku mau jadi pacar kamu” Dilan selalu saja membuatku terkejut, lama-lama aku bisa terkena serangan jantung.
                “Apa aku ga salah dengar?”
                “Ga nisa, udah tiga bulan kita temenan dan deket, aku makin yakin kalo aku benar-benar suka kamu bahkan cinta sama kamu” kali ini Dilan bicara sangat serius.
                “Aku harus jawab apa?”
                “Aku ga mau maksa kamu”
                “Haha, mukanya serius amat, ga usah terlalu tegang gitu”
                “Jadi?”
                “Iya aku ga bisa nutupin perasaanku lagi, selama ini aku juga udah suka sama kamu sejak kamu berubah”
                “Bener? Aku ga mimpi???”
                “Ga Dilan, aku mau kamu tetap seperti ini. Semoga perubahan ini bukan demi kamu yang hanya ingin menjadi pacar aku”
                “Ga nisa, aku berubah karna kamu karna aku sadar kalo aku ini ga baik. Aku ingin menjadi lebih baik lagi demi orang tuaku, juga demi kamu, wanita yang ingin selalu kulindungi”
                “Berubahnya yang ikhlas. Kalau suatu saat aku pergi kamu ga boleh berubah jadi Dilan yang dulu lagi. Janji?”
                “Iya, aku janji nisa” ujar Dilan seraya tersenyum dengan girangnya.
                Sejak saat itu aku menjalin hubungan bersama Dilan. Dunia terasa indah saat aku berada disampingnya. Dia baik, sangat baik. Bahkan aku ingin Dilan kelak menjadi imam dalam keluargaku.
                                                                                                ***
                Aku tersadar dari lamunanku, kurasakan air membasahi kerudungku. Aku tak sadar kalau telah turun hujan. Segera aku berlari ke dalam rumah. Aku menuju kamar, merebahkan tubuhku dan mencoba melepas penat. Aku ingin sekali tidak mengingat segala tentang Dilan, namun selalu saja gagal. Memang tak mudah, apalagi aku pernah menginginkan Dilan sebagai masa depanku. Namun semua harus kandas saat aku mengetahui bahwa aku mengidap penyakit leukemia. Aku tidak tahu sejak kapan penyakit ini telah bersarang ditubuhku. Aku hanya tahu bahwa penyakit ini menjadi penyebab kandasnya harapan-harapanku, melenyapkan mimpi-mimpiku bersama Dilan.
                Aku sengaja menjauh dari Dilan dan memutuskan hubungan ini. Umurku tak lama lagi, biarlah aku pergi dalam sepi. Biarlah Dilan menganggapku jahat. Aku mengaku bahwa aku pergi karena telah dijodohkan dengan lelaki lain. Tanpa Dilan tahu yang sebenarnya, bahwa aku melakukan kebohongan ini karena aku tidak ingin Dilan tahu aku mengidap penyakit leukimia yang telah merenggut semua harapan dan mimpiku. Dilan maafkan aku.
                Terasa pusing saat aku beranjak dari tempat tidurku. Aku menahan segala rasa sakit yang kuderita. Dirumah ini, aku hanya tinggal bersama ayah dan bundaku. Aku ingin hanya mereka yang nantinya menyaksikan kepergianku.
                Malam pun datang, kubuka jendela kamarku. Aku menghirup udara malam yang dingin, kurasakan suasana yang tenang dan sunyi. Segera aku mengambil wudhu, melaksanakan solat malam. Ku curahkan semua kepada sang Khalik, segala kesakitanku menahan penyakit ini dan kepedihan atas kebohongan yang telah kuperbuat terhadap Dilan. Dilan yang bertekad berubah demi diriku, kutinggalkan begitu saja dengan segala kebohonganku. Aku ingin ia cepat melupakanku agar aku bisa pergi dengan tenang. Namun sepertinya ini meyiksaku, semakin hari aku semakin memikirkan Dilan dan kebohonganku. Aku memutuskan untuk tidur, berharap esok aku masih bisa terbangun.
                                                                                                ***
                Kicauan burung dipagi hari dan suara kokok ayam membangunkanku, tak lama dari itu kudengar suara adzan subuh yang berasal dari masjid depan rumah. Aku beringsut dari tempat tidurku lalu merapikannya. Segera aku menuju kamar mandi dan mengambil wudhu. Semua terasa damai saat air wudhu mulai mengalir lembut dan pelan membasahi seluruh wajahku. Aku harus yakin aku bisa melewati saat-saat terakhirku tanpa kehadiran Dilan. Selesai mengambil wudhu aku mengambil mukena yang berada diatas kasur, mungkin bunda yang telah meletakkannya, setahuku mukena sejak tadi malam berada dalam lemari. Aku terkejut saat aku membalikkan badan, kulihat seseorang yang tak asing lagi, dia sangat ku kenal. Dilan!! Dia Dilan, Dilan ada disini, dihadapanku.
                “Dilan, kenapa kamu ada disini?” Tanyaku penuh tanya dan terheran-heran.
                “Aku kesini karena bunda kamu. Semalem aku udah berada disini”
                “Bunda? Kok bisa bunda......”
                “Ayo kita solat, aku yang jadi imam” Dilan memotong pembicaraanku, aku hanya menurut saja. Saat itu aku sangat senang dan bahagia, namun bagaimana dengan kebohongan yang telah aku buat?
                Setelah selesai solat, kami semua berkumpul diruang keluarga. Disana bunda menjelaskan yang sebenarnya. Aku hanya diam, aku menuruti saja kemauan orang tuaku. Mungkin aku memang salah telah membohongi Dilan. Satu jam kami terlibat dalam percakapan yang serius, bunda dan ayah meninggalkan kami berdua, mereka ingin kami menyelesaikan permasalahan kami.
                “Nisa, aku kangen kamu. Kangen Nisa yang lembut, kangen Nisa yang.........”
                “Udah Dilan, aku akan pergi” aku memotong pembicaraan Dilan.
                “Aku tahu, makanya aku kesini, aku ingin ada disamping kamu di saat-saat terakhir kamu”
                “Maafin aku yang udah bohong kalo aku.......”
                “Ssst, aku udah maafin kamu. Udah ya jangan dibahas lagi soal itu” Dilan sangat baik, dia memaafkan atas segala kebohonganku.
                “Kamu tetap menjadi wanita yang baik, anggun, dan lembut dimataku, Nisa. Kamu wanita yang solehah” lanjut Dilan berkaca-kaca. Aku tahu Dilan sedang menahan air mata. Sedangakan aku, aku membiarkan air mataku jatuh. Aku tak bisa menahannya lagi ketika melihat raut wajah Dilan yang berubah menjadi sedih seperti itu.
                “Jangan nangis dong, cantiknya entar hilang loh” Dilan berusaha menghiburku seraya mengahapus air mata yang membasahi wajahku.
                “Kasian juga tissuenya, entar habis karena ngapusin air mata Nisa haha” Dilan mengajakku bercanda, akupun hanya mengukir senyum diwajahku dan menghentikan tangisku.
                “Begitu kan cantik” ujar Dilan seraya menatapku dan tersenyum.
                “Dilan, aku akan pergi”
                “Iya aku tahu kok. Walaupun Nisa akan pergi, Nisa tetap hidup di hati aku. Kamu cintaku yang istimewa, kamu wanita yang penuh kelembutan, kamu telah berhasil mengubahku” ujar Dilan membanggakanku.
                “Bukan aku, tapi kemauan diri kamu sendiri...” jawabku singkat, aku tak sanggup melanjutkannya, kepalaku terasa pusing sekali. Hidungku terasa akan mimisan lagi.
                “Nisa, kamu itu selembut sutera. Baik dari tutur katamu, wajahmu, sampai caramu menyayangiku dengan sabar dan lembut” ku lihat wajah Dilan begitu tulus mengucapkan kata-kata yang barusan keluar dari mulutnya. Namun rasa pusing ini tak tertahankan lagi.
                “Nis, kamu mimisan!” Dilan sangat kaget melihatku mimisan, terlihat samar-samar wajahnya sangat khawatir melihat keadaanku. Dia panik, mengambil tissue dan memanggil ayah dan bundaku dengan penuh kecemasan.
                “Nisa, kumohon bertahan..” ujar Dilan terdengar lirih.
                “Aku sangat sayang ayah sama bunda. Aku sayang dan sangat sayang kamu Dilan” semuanya teras sesak, sempit, dan gelap.
                                                                                                ***


Selasa, 21 Mei 2013

Cerpen - Penantian


Penantian

                Suatu malam yang tenang, aku terbangun diantara sunyi dan senyap suasana. Aku beranjak dari tempat tidur, membereskan segala buku yang berserakan diatas meja belajarku. Aku lupa membereskannya setelah asyik menulis berjam-jam, mencurahkan segala inspirasiku, khayalan, dan imajinasi yang terkumpul di otakku. Kutemukan sebuah buku berukuran kecil, layaknya seperti diary. Yah, itu diary sederhanaku, dimana disitu aku pernah mencurahkan segala isi hatiku tentang seseorang, tentang cintaku. Terbesit difikiranku akan kenangan dulu. Aku pernah mengenal sesosok lelaki yang nyaris sempurna. Dia pernah berperan besar dalam hidupku, dalam proses pendewasaan diriku yang saat itu masih terbilang labil. Aku tersenyum simpul kala itu aku mengingat kembali semuanya, semua tentang dirinya, mas Andi.
aku berniat memenuhi panggilan suci setelah lumayan lama aku terlelap. Aku segera menuju kamar mandi setelah selesai membereskan meja belajarku. Sungguh menyedihkan, telah lama aku tak melakukan ibadah di malam hari seperti ini. Dulu aku sering melakukannya, saat dia masih rajin membangunkanku tengah malam, dan mengajakku tahajjud bersama walaupun kami berada di dua tempat berbeda dan jauh. Aku tidak tahu apakah ia benar-benar melakukannya juga, namun yang jelas dia sangat baik telah membangunkanku dan menyurhku mendirikan sholat malam.
Aku kembali menatap diary kecilku itu sebelum aku memutuskan untuk kembali ke alam mimpi dimana aku bisa menemukan orang-orang yang menyayangiku semauku. Kira-kira seperti itu harapku sebelum tidur.
                                                                                ***
Aku terbangun ketika alarm handphoneku nyaring berbunyi memekakkan telinga. Ku dengar adzan subuh saling bersahut-sahutan diluar sana. Bergegas aku mengambil wudhu dan menjalankan kewajibanku sebagai muslimah.
Pagi ini aku memutuskan pergi kesebuah tempat yang tak jauh dari rumahku. Aku akan pergi ketaman komplek rumah dimana disana aku akan bertemu dengan kenangan-kenangan yang sempat terkubur dalam. Dulu aku sering kesana dan bertemu dengan seseorang yang sangat aku cintai. Dia bukan mas Andi, dia adalah Ilham, lelaki yang telah menggantikan posisi mas Andi dihatiku.
Mataku menyoroti seluruh sudut taman, aku tersenyum. Kuputuskan untuk duduk di sebuah bangku, dimana dulu aku pernah duduk berdua dengan Ilham. Ku sentuh lembut bangku itu, kupandangi lekat-lekat membayangkan ada Ilham duduk disebelahku.
Aku kehilangan Ilham, aku kehilangannya. Dulu mas Andi juga pergi meninggalkanku, meninggalkan mimpi-mimpi yang pernah kami bangun bersama. Dia pergi dan tak akan pernah kembali lagi sampai kapanpun. Dan sekarang, bahkan telah satu tahun Ilhampun pergi meninggalkanku, dia pergi mengejar cita-citanya. Dan aku, aku sendiri disini menunggunya yang aku tak tahu apakah dia akan kembali lagi atau tidak. Dia tidak memberi kepastian kepadaku, dia hanya bilang kalau dia ingin ada yang terbaik untukku lebih dari dirinya. Aku tahu itu sangat menyakitkan, namun aku mencoba memahami itu, dia tidak ingin aku menunggunya terlalu lama membiarkan aku terikat dalam ikatan yang nantinya akan mengekang diriku sendiri. Aku hargai keputusannya, aku rela dia pergi meninggalkanku. Dan satu kalimat terakhir yang kuingat dari Ilham, “Citra, kamu wanitaku yang lembut”. Kalimat yang berhasil membuatku terbuai sekaligus membuat perih hati ini. Dia mengatakan itu disaat terakhir aku bisa bersamanya. Suatu kenangan yang miris tapi manis.
Sentuhan lembut angin mempermainkan kerudung yang membalut rambutku. Dedaunan kering dan suara gemericik air mancur kecil yang berada didekat bangkuku menjadi pelengkap suasana saat itu. Aku merindukannya, merindukan Ilham. Terbesit didalam benakku untuk benar-benar melupakannya. Ah! Selalu saja begitu dan akhirnya aku tetap saja gagal. Rasa cinta dan sayang yang begitu besar terahadap Ilham telah mengalahkan niat dan usahaku untuk melupakannya. Bagaimana mungkin aku bisa lupa begitu saja dengan cepat, kalau dulu hampir setiap hari ia datang menemuiku ditaman ini, bersenda gurau bersama, tersenyum dan tertawa bersama. Bagaimana mungkin cinta yang tumbuh dari rasa kagum diam-diam akan sirna begitu saja. Cinta yang kami agungkan , tumbuh bersemi suci dan belum ternodai. Kami jaga baik-baik sebaik Ilham menjagaku selama ini. bagaimana mungkin aku bisa mengahapusnya semudah menghapus tulisan. Aku lemah tak berdaya melawan gejolak ini. entah aku tak tahu persisnya apa yang sedang kurasa. Semuanya menjadi satu, dan yang jelas terselip rasa rindu yang mendalam terhadap Ilham.
Aku menyusuri taman, berjalan dengan tatapan hampa. Tak sengaja aku tersandung batu kecil dan sontak aku terjatuh. Dengan bodohnya aku menunggu seseorang meledekku, menertawaiku, dan menolongku. Sayang, hanya sekedar harapan, tak mungkin Ilham tiba-tiba pulang dan menolongku. Aku berdiri, yah, berdiri sendiri. Aku memutuskan untuk kembali ke bangku taman, aku merasa lelah walau hanya sebentar menyusuri taman. Aku lelah bukan karena berjalan, tapi aku lelah memendam rasa rinduku yang tak terbalaskan ini.
Tak berapa lama sorot mataku tertuju pada seorang anak kecil yang tengah bermain dengan riangnya bersama teman-temannya. Lalu anak kecil tersebut berjalan menuju arahku. Benar saja, dia menghampiriku yang tengah meringis kesakitan karena terjatuh barusan. Anak kecil itu menatapku dengan tatapan polos, lucu sekali.
“hai adik kecil, kenapa kamu disini? Kenapa kamu ga main sama teman-teman kamu?” tanyaku dengan lembut seraya mengusap-usap rambutnya yang halus.
“aku lihat kakak lagi sedih, jadi aku kesini” jawab anak kecil tersebut dengan polosnya.
“haha, kakak ga sedih kok dek. Kamu lucu deh” aku berusaha meyembunyikan perasaanku yang sebenarnya. Anak kecil saja tahu kalau aku lagi sedih. Hmm..
“kakak, main yuk”
“duh, maaf ya dek, kakak ga bisa. Kaki kakak lagi sakit, kakak abis jatuh disana” jawabku dengan lembut seraya menunjuk kearah tempat dimana aku terjatuh.
“yaudah deh, aku temenin kakak disini aja, kakak ga ada temen kan”
Sontak aku kaget mendengar ucapan anak kecil yang polos itu. Dia saja tahu kalau aku sedih dan butuh teman, kenapa Ilham.... ahh bodoh, jelas saja Ilham tidak tahu, dia kan jauh, jauh dariku.
“boleh deh, tapi gapapa kan sama temen-temennya?”
“gapapa kok kak. Kakak, lembut sekali deh ngomongnya. Beruntung ya orang yang jadi pacar kakak, kakak ga galak” lagi-lagi anak kecil itu mengejutkanku. Anak berumur sekitar 7 tahun itu sudah bisa bilang pacar?? Wow, ini kemajuan pesat dunia atau apa.
“eh kamu masih kecil udah bilang pacar-pacaran” ujarku diselingi tawa kecil.
“kakak, maaf aku harus pulang. Itu kakak aku udah jemput”
“yah, bentar banget nemenin kakak. Hmm iyadeh, salam ya buat kakaknya”
“iya kakak”
Setelah kepergian anak kecil tersebut aku memutuskan untuk kembali kerumah. Aku belum sempat bekenalan dengan anak kecil itu. Aku berjalan pelan meyusuri jalanan komplek yang bersih. Kurasa kembali hembusan angin yang lembut mempermainkan kerudungku. Sorot mataku seperti menangkap sesuatu yang tak biasa, aku melihat sebuah mobil parkir tepat di depan rumahku. Jelas aku bertanya-tanya, lantas penasaran pun menyelinap dalam pikiranku, berfikir dan mengingat kalau-kalau saja itu mobil temanku, tapi aku tetap merasa asing dengan mobil tersebut. Aku berhenti ditengah jalanan yang sepi, kulihat dari kejauhan seorang anak kecil turun dari mobil. Perlahan aku memerhatikan anak kecil tersebut, dia berjalan kearahku, semakin dekat, dekat, dan....
“kakak cantik, kita ketemu lagi”
“kamu anak kecil yang ditaman tadi kan? Kok bisa? Kamu sama siapa?”
“aku sama kakakku, dia kenal sama kakak. Tadi ditaman kakakku sempat melihat kakak. Ayo kita kemobil”. Anak kecil itupun menarik lenganku, aku hanya menurut saja dan terjaga dalam kebingunganku. Kulihat seorang lelaki turun dari mobil. Lelaki itu berperawakan baik, pakaiannya rapi, berkulit putih, tinggi, dan... astaga! Aku sontak kaget, aku tak percaya. Ya Tuhan, dia kembali, seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupku, sekarang berada dihadapanku. Aku nyaris tak mengenalnya, telah sangat lama aku tak bertemu dengannya. Kini dia hadir kembali, dan terlihat lebih segar dan sehat.
“citra” sapa lelaki tersebut dengan lembut, wajahnya memancarkan ketulusan saat menyebut namaku, senyum yang terukir diwajahnya masih terasa hangat dan spesial seperti dulu.
“mas Andi” ujarku pelan.
“citra, maaf, mas baru bisa menemui citra sekarang setelah kepergian mas”
“mas Andi? Anda mas Andi? Citra ga mimpikan?” refleks aku mengeluarkan pertanyaan yang dari tadi memenuhi ruang memoriku, aku masih tak percaya. Yang aku tahu mas Andi tak akan pernah kembali lagi, tapi kenapa sekarang dia... argghh!!
“mas Andi selama ini bohong. Mas Andi tega” ujarku lirih.
“mas Andi baik-baik saja, mas pergi demi orangtua mas, juga kamu”
“aku? Citra, mas?” tanyaku menahan amarah. Aku merasa dibohongi, terakhir aku mendapat kabar bahwa ia telah pergi, mas Andi sakit dan tak bisa lagi diobati. Tapi kini dia hadir secara tiba-tiba.
“mas ga mau bilang ke citra karna mas takut kalo mas benar-benar ga bisa sembuh lagi” jelas mas Andi meyakinkanku.
“tapi mas udah ngebohongi citra, citra terpuruk dalam kesedihan mas, citra ga bisa nerima kehadiran orang lain karena rasa sayang citra ke mas Andi sangat besar. Citra selalu ingat mimpi-mimpi kita mas, tapi mas malah...” tak sanggup aku melanjutkan pembicaraanku, aku tak ingin air mataku seketika jatuh dihadapan mas Andi, aku tak mau terlihat lemah dihadapannya.
“maaf, hanya itu yang bisa mas katakan. Mas tahu mas salah, tapi ini mas lakukan semata-mata mas ga mau ambil resiko seperti yang mas bilang tadi”
“iya mas, aku maafin mas” aku berusaha melapangkan dada, ikhlas memaafkan mas Andi. Aku tahu hati ini terasa sakit dan sesak. Walau sekarang aku merasa lega bahwa orang yang pernah menjadi bagian dalam hidupku kembali lagi, namun aku tak bisa menutupi kekecewaanku terhadapnya.
“citra, terakhir kita berkomunikasi citra bilang citra ga sayang lagi sama mas” ujar mas Andi memecah kesunyian diantara kami.
“iya, citra tahu mas bakal pergi, citra mau saat itu mas benci citra biar saat mas pergi mas ga inget citra lagi” jelasku seraya memalingkan muka.
“kamu masih marah ya sama mas?” tanya mas Andi dengan nada sedikit takut. Aku hanya diam, aku tak tahu lagi bagaimana aku harus mengekspresikan semua yang kurasa didepan mas Andi.
“rio, kamu dalem mobil aja ga usah keluar-keluar ya, mas mau ngajak mbak citra ke taman” aku terkejut, tanpa persetejuanku dia ingin mengajakku ke taman. Aku tak bisa menolak, aku tak enak bersikap dingin kepada mas Andi dihadapan Rio, anak kecil yang ternyata adik mas Andi. Ternyata Rio sudah besar dibandingkan dulu, saat masih bayi.
Kami berduapun berjalan menuju taman komplek, hanya kebisuan yang kami ciptakan sepanjang jalan menuju taman. Sesampainya di taman aku mengajak mas Andi duduk di bangku favoritku dan Ilham.
“citra, sekarang mas kembali, adakah kesempatan buat mas lagi?” aku tak habis fikir, seenaknya dia bilang seperti itu. Aku tahu dia telah berperan penting dalam hidupku selama ini, tapi perasaan yang telah rapuh sulit untuk dikembalikan kokoh seperti dulu. Selama mas Andi pergi, Ilhamlah yang telah berhasil menggantikan posisinya dihatiku.
“mas, mas udah ninggalin citra bertahun-tahun, hampir citra tak mengenali mas. Mas, telah banyak waktu yang citra lewati, dan diantara berulirnya waktu citra banyak mengenal orang-orang baru dikehidupan citra” ujarku dengan lembut, menahan kesal dan amarah.
“siapa lelaki itu?” mas Andi tahu maksud apa yang aku bicarakan. Yah, mas Andi belum berubah, dia masih mas Andi yang dulu, yang hampir serba tahu tentang diriku bahkan fikiranku.
“dia lelaki yang baik, dia yang telah menemani citra selama ini”
“dimana dia? Mas ingin bertemu”
“buat apa mas? Ga perlu itu ga penting”
“kenapa kamu sinis? Salah kalo mas ingin kenal sama dia?”
“ga salah kok, hanya saja citra ga mau mempersulit keadaan, bagaimana citra ngejelasin sama dia kalo mas sekarang kembali, hidup kembali” aku mencari alasan untuk mengurungkan niat mas Andi bertemu dengan Ilham. Aku saja ga tahu Ilham ada dimana. Sebelum Ilham pergi, ilham telah memutuskan hubungan kami.
“baiklah” ujar mas Andi singkat.
Hening, kami diam dalam bisu. Hanya kicauan burung dan gemericik air yang terdengar. Sesekali aku memandang mas Andi diam-diam. Kulihat raut wajahnya yang melukiskan kekecewaan. Aku tahu dia sangat kecewa. Dia bela-belain menemuiku lagi untuk menejaskan apa yang terjadi sebenarnya dan mencoba ingin memulai kisah yang dulu pernah terjalin diantara kami.
“mas, maafin citra. Citra sangat sayang dia,mdialah yang menemani citra selama ini. karena citra udah nganggep mas Andi udah bener-bener ga ada lagi dan ga akan kembali lagi. Apa citra salah?”
“ga kok, citra ga salah. Mas yang salah, mas yang udah ga jujur sama citra. Sekarang mas harus menanggung resiko dari apa yang telas mas perbuat” mas Andi terlihat tegar dan berjiwa besar saat mengatakan segala kalimat yang dilontarkan dengan tenang, dan sesekali tersenyum menatapku.
“maafin citra mas” hanya itu yang bisa aku katakan. Aku tak bisa memaksa perasaanku. Aku telah menaruh harap yang besar kepada Ilham walau aku tak tahu kapan Ilham akan kembali lagi dan apakah mungkin Ilham akan kembali menjalin hubungan bersamaku. Aku terlihat bodoh, aku menolak kehadiran orang yang sejak dulu hingga sekarang yang tetap menjaga hatinya untukku hanya demi seorang Ilham yang aku sendiri tak tahu dia kapan akan kembali lagi. Namun inilah perasaan, tak bisa dipaksa dan sulit diterka. Aku mementingkan egoku sendiri tanpa memikirkan perasaan mas Andi. Aku tahu dia telah berjuang untuk sembuh dan kembali padaku. Namun aku tetap tak bisa, aku telah menemukan seseorang yang sukses menggantikan posisi mas Andi dihatiku. Rasa sayang yang amat besar terhadap mas Andi hilang begitu saja setelah aku menjalin hubungan dengan Ilham.
“citra, mas kembali ke kota mas. Mas pamit ya, mas ga mau lama-lama disini, kasihan Rio yang jauh dari umi”
“mas, ga marah sama citra kan?”
“haha, ga lah citra. Salam ya buat ibu. Besok-besok kalo mas ingin mampir kesini boleh kan?”
“boleh kok mas. Mas hati-hati dijalan, salam buat umi juga Rio ya”
“iya citra, sekali lagi maafin mas”
“maafin citra juga mas”
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikumsalam”
Mas Andipun menghilang dari pandanganku, kini dia telah pergi, kembali ke kotanya. Aku merasa berdosa telah menyiakan ketulusan mas Andi. Namun aku tidak bisa memaksa perasaanku  untuk kembali kepada mas Andi. Aku masih menaruh harapan kepada Ilham, aku yakin Ilham akan kembali dan aku akan berusaha untuk menjalin hubungan kembali bersama Ilham. Terlihat bodoh, namun inilah aku dan perasaanku.
Disini, dibangku ini, aku masih betah duduk sendiri memandangi kolam ikan dihadapanku. Sesekali kulemparkan batuan kecil kedalam kolam. Aku belum beranjak sedetikpun sejak kepulangan mas Andi. Aku masih betah duduk dibangku ini, bangku favoritku bersama Ilham. Aku masih betah merajut rasa rindu yang tak terbalaskan. Betah dalam sepinya kesendirian. Menanti sesuatu yang tak pasti. Hanya harapan dan keyakinan hati yang menguatkanku dan menyabarkanku dalam sebuah penantian. Semoga disana Ilham bisa merasakan rindu yang teramat dalam seperti apa yang kurasakan sekarang. Dan mas Andi, maaf dan terimakasih.

***

Jumat, 10 Mei 2013

Puisi - Cinta Itu Kamu


Cinta itu Kamu



Dibalik kabut itu
Yang menjadi selimut hatiku
Ku temukan sinar-sinar
Benderang membuat ku berbinar
Ku dengar halus suara
Belaian angin menerpa
Menyentuh lembut qalbuku
Yang kusut, senantiasa meragu
Ku dengar dan kini ku lihat
Sinar-sinar itu membawa harapan
Mentatih ku yang sedang tersesat
Memberi ku bintang penerangan
Dia datang seakan memberi cinta
Membuat kabut itu semakin menghilang
Jiwaku pun menjadi benderang
Berharap cinta itu benar-benar ada
Belaian angin semakin membalutku
menemaniku, melindungiku
dari debu-debu masa lalu
berharap sirna dan semakin merapuh
Kini dia benar-benar ada
bukan sebagai sinar ataupun udara
namun sebagai penjaga hati
ku sayang dan ku kasihi

kasih, cintaku adalah kamu...



Rabu, 24 Agustus 2011
Dwi Anggraeni

Puisi - Tetaplah Dihatiku


Tetaplah dihatiku



Malam semakin larut
Aku masih terjaga dalam khayalan
Melukiskan wajahnya dengan pekat
Yang tak aku tahu , yang belum ku temukan
Hembus angin yang semakin kurasa
Menembus tulang , membekukan raga
Namun aku belum jua beranjak
Dari peraduan rasa yang bergejolak
Lekat-lekat ku pandang sebuah bintang
Nyalanya mempesona sangat benderang
Ah! Sayang aku tak dapat menggapainya
Untuk ku jadikan teman di malam hari
Beranjak dari kepenatan
Singkirkan kegalauan
Sesaat sesuatu yang mendera
Lenyap dan semua sirna
Namun satu dalam kesempurnaan
Sempurna yang belum ku miliki sebelumnya
Saat mencintai nya , lebih dari segalanya
Menghilangkan kehampaan
Rasakan lembutnya sutera
Selembut perasaan yang tercipta
Hingga badai itu datang dan berlalu
Selalu... tetaplah dihatiku



Rabu, 24 Agustus 2011
Dwi Anggraeni

Puisi - Penantian


Penantianku



Aku masih terjaga dalam lamunanku
Termenung di sudut kamar
Sendiri termangu
Dalam harapan hambar
Hampa….
Kini mulai ku rasa
Sejurus pun tak berhenti
Dari lamunan tak berarti
Angin mulai membelai
Ku rasakan ada cinta melambai
Dari kejauhan…
Dalam berjuta penantian
Aaaaaarrgh ! Aku menjerit
Bagai dalam bilik sempit
Cintaku menyesakkan
Hanya pasrah yang menjadi sandaran
Inilah aku kasih
Tiap detik ku nanti dirimu
Melawan pahit getir dan galau
Dalam sunyi, senyap, dan sepi

Ku ingin kau ungkapkan
Agar disini aku tak tersiakan



Minggu, 21 Agustus 2011
Dwi Anggraeni

Puisi - Dia Untukku


Dia Untukku



Engkau ciptakan mentari
Untuk menyinari bumi
Engkau ciptakan Bintang
Dengan sinarnya yang benderang

Engkau ciptakan hati
Kau beri ketulusan murni
Engkau ciptakan perasaan
Untuk kami dapat saling merasakan

Aku tertegun kuasa-Mu
Begitu hebatnya Kau ciptakan semua
Kau pun menyuratkan hidupku bermakna
Saat kau ciptakan dia, untukku

Dan dia harus tahu
Hadirnya mewarnai hariku
Engkau yang Maha Pengasih dan Penyayang
Kau titipkan kasih dan sayang kepadanya, untukku yang tersayang




Rabu, 24 Agustus 2011
Dwi anggraeni

Puisi - Aku Untukmu

Aku Untukmu


Kasih…
Dengarlah senandungku
Disini, aku bernyanyi sendu
Makna puitis untuk yang ku nanti
Jikalau hatimu hatiku
Dapat merasakan yang sama
Mungkin kau temukan aku di relung hatimu menyapa
Kasih…
Aku punya sejuta impian
Bersamamu temani sepi
Ingin jiwa kita ku satukan
Dilema yang mulai singgah
Serpihan luka yang kian bertambah
Menahan gejolak saat kau disana
Entah, samakah apa yang dirasa
Kasih…
Aku untukmu bersama
Menantimu, walau cobaan terus menerpa
Aku selalu menunggumu disini
Karena aku untukmu, kasih..




Rabu, 24 Agustus 2011
Dwi Anggraeni

Cerpen - Aku Akan Pergi

                                     AKU AKAN PERGI


               Sejenak keheningan terasa sangat pekat malam itu. Reni, si gadis pendiam, masih tak beranjak dari balutan selimut hijau favoritnya. Suasana saat itu memang sangat dingin, hujan yang mengguyuri kota sejak jam lima sore tadi baru saja reda. Suasana seperti ini membuat Reni malas untuk melakukan aktivitas apapun.
                Reni beranjak dari tempat tidurnya, membuka jendela dan memandangi langit hitam tanpa bintang yang menghiasi malam itu. Seketika beban yang mendera batin dan pikirannya kembali mengusik ketenangannya malam itu. Teringat akan kejadian yang membuat ia tak dapat membendung kesedihannya. Ia pun menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, lalu terukir senyuman kecil di wajahnya yang manis itu. Berusaha melupakan kejadian pahit yang ia alami.

                                                                                                ***

                Reni berlari kecil menaiki tangga menuju kelasnya, hari itu ia terlambat. Untunglah guru yang mengajar pagi itu belum datang, Reni merasa lebih lega sedikit. Sedikit ? Tentu saja, ia lupa mengerjakan tugas yang diberi kemarin. Bergegas ia mencari contekan kepada temannya, ia berfikir dengan waktu sesingkat itu mana bisaia mengerjakan semua tugasnya. Lima belas menit kemudian akhirnya tugas-tugasnya itu selesai ia kerjakan dan barulah ia benar-benar merasa lega. Tiba-tiba ia ingat akan seseorang,
Kalau dia tahu pasti dia marah”, gumamnya sambil tersenyum.
                Seseorang itu adalah orang yang sangat berarti baginya, orang yang memarahinya kalau ia malas belajar, orang yang terkadang menyebalkan dengan segala tingkah nakalnya. Dia adalah Dino, seorang cowokyang telah membuat Reni mengenal cinta di masa remajanya. Dino yang telah berhasil meluluhkan hati Reni yang selama ini cuek terhadap cowok. Reni mengaku sangat sayang kepada Dino. Ya, itu untuk sekarang dan berharap sampai ia tua nanti. Seperti itulah harapan para remaja di masa percintaan mereka yang dini.
                Telah cukup lama ia mengenal Dino, laki-laki yang baik dan lebih dewasa. Bersama Dino, Reni seakan memiliki sosok seorang saudara, seorang sahabat, bahkan seorang ayah. Banyak hal yang telah mereka lalui bersama di masa remaja Reni.
                Reni yang sedari tadi terjaga dalam lamunannya seketika tersadar saat seorang guru berjibab merahmuda berjalan dengan penuh wibawa memasuki kelas. Saatnya jam pelajaran dimulai.

                                                                                                ***

                Malam ini Reni disibukkan dengan tugas sekolah yang bertumpuk. Seperti biasa Dino selalu menemaninya walau hanya lewat pesan singkat elektronik. Terkadang Reni tertawa sendiri dengan canda Dino yang konyol baginya dan terkadang Dino suka membuat Reni marah-marah dengan tingkah nakalnya yang menceritakan gadis lain. Reni sangat suka dengan tingkah Dino yang suka usil, iseng, dan jahil. Walaupun begitu Dino adalah sosok dewasa baginya. Dino selalu memberi nasehat kepadanya di saat ia sedang berada dalam masalah, baik itu masalah ia bersama temannya maupun masalah pribadi Reni sendiri. Dino selalu marah apabila mengetahui Reni meninggalkan kewajiban Reni sendiri, baik itu belajar ataupun beribadah. Reni merasa tak salah telah mengenal sosok seorang Dino. Dino pun selalu membanggakan ibunya saat bercerita kepada Reni. Hal itulah yang menjadi nilai plus Dino bagi penilaian Reni. Dino adalah cowok yang patuh terhadap ibunya.

                                                                                                ***

                Reni melangkah malas menuju meja belajarnya yang tepat berada didepan jendela kamarnya. Malam itu ia bukan ingin belajar melainkan ingin memandangi langit malam yang terlihat lebih cerah di banding malam-malam sebelumnya. Di hitungnya bintang-bintang yang menghiasi langit malam itu. Ia tahu menghitung bintang hanya menghabiskan waktu namun itu lebih baik daripada ia terus berlarut dalam kesedihannya.
                Cerita cinta yang sederhana namun sangat besar pengaruhnya dalam masa remaja Reni. Telah lama ia menjalin hubungan dengan Dino, mereka telah akrab seperti kakak dan adik. Namun, ia tak menyangka bahwa kisah cinta remajanya berakhir begitu saja dan lebih terkesan rumit untuk anak seumur dirinya. Selama ini ia menganggap kisah cintanya merupakan penyemangat bagi dirinya. Namun, Dino yang ia bangga-banggakan itu harus ia tinggalkan atas permintaan seseorang yang sangat ia hormati.
                “Saya ingin yang terbaik untuk Dino”. Isi pesan singkat yang memang singkat memiliki arti yang dalam.
                Walau merasa tak bisa namun harus tetap ia lakukan itu. Semua kisah yang terukir selama ini harus ia simpan dalam kenangan yang terindah dalam lubuk hatinya. Ia tetap ingin menjadi gadis yang kuat dan tegar seperti apa yang pernah dikatakan Dino kepadanya. Keputusan kali ini Reni sendiri yang membuatnya. Ia ingin yang terbaik buat orang yang ia sayangi dan orang yang ia hormati. Reni gadis yang baik dan tak bisa membohongi orang tuanya. Walau bukan permintaan dari orang tuanya sendiridia tetap mengahargai bahkan rela memenuhinya untuk kebaikan semua orang.
                Ini bukan kisah cinta remaja yang wajar menurut Reni. Yang sebenarnya ialah diisi dengan canda tawa, ketidakseriusan, atau bisa dikatakan hanya untuk bersenang-senang di masa remaja. Namun yang Reni alami jauh dari itu, jauh dari yang sebelum ia bayangkan saat pertama menyambut datangnya cinta dari Dino. Ia rasa ini sulit baginya, di umurnya yang terbilang masih remaja tak sepantasnya ia mengalami hal ini. Namun Reni tetap berfikir positif bahwa kejadian ini merupakan guru baginya yang akan lebih medewasakan dirinya dalam memahami arti kerelaan dalam hidup.
                Dino anak tunggal dan satu-satunya harapan orang tuanya harus rela ia tinggalkan demi permintaan orang yang ia hormati dan ia anggap seperti orang tuanya sendiri. Semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Dino tak pantas untuknya, tak ada yang bisa di harapkan dari seorang anak SMA seperti dirinya yang masa depannya masih abu-abu di bandingkan dengan Dino, status sosial jauh membedakan di antara mereka. Walaupun masalah sebenarnya bukan itu, namun Reni tetap saja mempermasalahkan status sosial di antara mereka. Dia akan pergi jauh dari kehidupan Dino dan memulai kehidupannya yang baru dan tentunya tanpa Dino.
Abi, Reni akan pergi dari Dino”, ucapnya lirih.

                                                                                                ***

                Reni duduk di beranda rumah seraya memandangi langit malam saat itu. Tak bosan-bosannya ia melakukan kebiasaan memandangi langit malam. Karena itu pernah ia lakukan bersama Dino, waktu itu mereka melihat bulan yang berbentuk bulat sempurna yang dikelilingi pantulan sinar bintang. Kali ini bukan bulan yang Reni lihat melainkan bintang yang menarik hatinya karena sinarnya lebih terang di banding bintang-bintang yang lain. Ia berdoa dalam hati, meminta kepada sang Khalik, pintanya agar Dino bahagia disana tanpanya dan dirinya bahagia dengan kehidupannya sendiri.
                Saatnya menyambut kehidupan yang baru, mengisi kesehariandengan menjalankan kewajiban sebagai seorang pelajar pada umumnya.

                                                                                                ***

Senin, 06 Mei 2013

Cerpen - With(out) You


With(out) You...




         Suatu ucapan yang tak ku lupa “ga mungkinlah!”. Kalimat sederhana namun memiliki makna yang dalam. Kalimat yang menyatakan teguhnya pendirian seseorang akan suatu hal yang telah diyakini dengan sangat yakin dan akan dipertahankannya sampai kapanpun. Nyatanya, ucapan hanyalah ucapan, yang seketika keluar dari bibir tanpa memikirkan tanggungjawab dari makna ucapan yang telah dilontarkan dan tak sadar telah membuat seseorang terbuai akan ucapannya itu.
Sesuatu yang tidak mungkin seperti ucapannya telah terjadi. Kalimat itu hanya sekedar pemanis dalam perbincangan hangat sepasang kekasih. Kalimat yang berujung gombal dan rayuan semata. Aku, aku telah dibodohi perasaan cinta. Mudahnya percaya pada kalimat sederhana hingga memikat dan menenggelamkanku dalam cinta yang sangat dalam. Aku, aku telah dibohongi oleh makna yang ternyata fiksi, bukan nyata yang harusnya masih kunikmati dengan indah dan manis bersama dia, dalam suka dan duka.
                                                               
                                                                                ***

                Aku beringsut dari tempat tidurku menuju kamar mandi. Melangkah dengan malas diiringi perasaan yang berkecamuk dalam hati. Mabuk, seperti orang yang mabuk dan kehilangan arah. Kurasakan segarnya air yang mengalir disekitar wajahku. Aku mulai berusap, menyadarkan diri dari lamunan yang membekas. Akupun berkaca, menatap cermin yang berada dihadapanku. Kulihat wajah yang tak bercahaya, murung tanpa lengkungan sedikitpun dibibir. Pipi yang datar, mata yang sayup, serta pandangan hampa. Apa yang telah terjadi pada diriku? Aku berbeda dari biasanya. Aku tak seceria dulu. Keceriaanku telah direnggut rasa kecewa, kecewa padanya yang pernah berarti dalam hidupku, sangat berarti.
                Segera aku mengambil wudhu, bersiap mengadu pada sang Khalik. Hanya kepada-Nya tempat yang tepat untuk mencurahkan isi hati yang tak karuan bahkan berantakkan. Kupanjatkan doa dengan suara yang halus dan nada yang sangat memohon. Aku menginginkan hati dan perasaan ini tenang, tanpa amarah. Ikhlas dalam menerima segala takdir yang telah disuratkan untukku.
                Aku merasakan ketenangan dalam hati ini. Akupun kembali berkaca. Ada yang beda dari wajahku. Kulitku terlihat segar dan tak layu seperti sebelum solat. Ada sedikit lengkungan dibibir, senyumanku. Ada harapan terpancar dari pandangan, harapan menjalani hari-hari dengan semangat walau tanpa penyemangat seperti dia lagi.

                                                                                                ***

                Hari demi hari telah kulewati tanpa hadirnya lagi. Dan aku, tetap berada dalam kesepian, tiada lagi yang memberi semangat, tak ku dengar lagi celotehannya saat bersenda gurau bersama. Tiada lagi “kami” yang membahas mata kuliah serta dosen yang killer. Tiada lagi dia yang selalu ku tunggu selesai melakukan “aktivitasnya”. Aku berharap semua itu kembali lagi. Namun itu hanyalah sebatas harap yang tak kunjung nyata. Aku telah terpenjara dalam perasaan cinta yang sangat dalam. Sulit untuk membebaskan diri dari belenggunya. Oh Tuhan, tolonglah aku, hilangkan perasaan ini dengan cepat seperti ia yang telah menghilangkan perasaannya kepadaku.
                Aku berjalan menyusuri koridor. Sepintas ada ingatan yang kembali datang dalam fikiranku. Aku melihat sebuah jalan di dekat koridor yang dulu aku pernah melewati bersamanya berdua seraya bersenda gurau. Sungguh manis kenangan itu, ya manis sekali, semanis senyumnya yang hampir aku dapatkan tiap hari darinya.
                “Hey ra” sapa seseorang dari arah belakang. Ternyata itu Mila, sahabatku.
                “Aku kira siapa, ternyata kamu. Ada apa?”
                “Dijalan kok bengong aja, ntar kesambet loh”
                “Ga akan, la. Paling juga kalo kesambet, kesambet si Rian, ehhh”
                “Tuhkan mulai lagi. Clara, kamu itu harus lupain dia, move on dong. Udah deh jangan diinget lagi. Dia juga belum tentu ingat kamu kok. Udah ya aku mau buru-buru, tugasku belum selesai hehe”.
                Aku hanya diam, kupandangi Mila sampai ia menghilang dari pandanganku. Aku membenarkan semua ucapan Mila dalam percakapan singkat barusan. Belum tentu Rian memikirkanku seperti aku yang masih memikirkannya setiap saat. Aku bodoh kalau seperti ini. Aku harus lupain Rian. Iya, harus!!!!
                “Hey” sapa seseorang kembali, namun kali ini suaranya bukan suara perempuan.
                “Rian???” Aku sontak kaget, muulutku seketika terkunci saat melihat Rian berada dihadapanku.
                “Ngapain disini? Belum masuk?” tanya Rian dengan tenangnya.
                “Bentar lagi kok, ini lagi mau jalan”. Jawabku singkat dengan sedikit tersenyum.
                “Kamu... Apa kabar?” lanjut Rian kembali.
                “Alhamdulillah baik, kamunya sendiri?” jawabku sambil mengatasi kegugupan.
                “Baik juga. Gimana kuliahnya?”. Rian sangat pintar membuatku terpana. Tutur katanya masih seperti dulu, lembut dan halus.
                “Haha ya gitu deh, kamu sendiri gimana?”. Huh, sumpah! Lama-lama aku tak bisa menahan grogi ini.
                “Kok gitu deh? Aku juga gitu haha”. Rian tertawa? Aku sudah lama tak melihat tawanya. Aku sangat suka tawanya.
                “Mmm Rian, aku mau masuk dulu ya, entar telat”.
                “Oh okeh, silahkan. Selamat belajar ya” ujar Rian seraya tersenyum.
“Oh Tuhan, senyum itu... aku sangat merindukan senyuman itu. Mengapa disaat seperti ini Rian kembali. Ini sulit bagiku, aku tak bisa melupakannya”. Gumamku dalam batin.
Aku kembali menyusuri koridor, sengaja kuhentikan perbincanganku dengan Rian agar aku tidak ketahuan grogi saat dihadapannya. Aku tak ingin dia tahu kalau aku masih menyimpan rasa terhadapnya. Biarlah kupendam perasaan ini semampuku dan entah sampai kapan aku bisa memendam.
Aku membalikkan badanku, berharap masih bisa melihat Rian. namun sayang, Rian sudah tidak ada lagi, dia sudah pergi. Yah, ini pertemuan pertama setelah putus dari Rian.

                                                                                ***

                Hujan tak kunjung reda. Dari sore hingga malam hujan masih betah membasahi seisi kota. Lengkap sudah, perasaan galau di temani derasnya hujan malam ini. Aku masih teringat wajah seseorang yang pernah mewarnai hidupku. Wajahnya tak berubah, masih manis dan ramah seperti pertama berkenalan. Tutur katanya halus dan lembut. Senyum dan tawanya juga masih seperti dulu. Tak ada yang berubah dari dirinya. Hal ini terus membuatku tersenyum sendiri. Namun dibalik senyumku tersimpan perasaan yang menggebu untuk memiliki ia kembali, namun tak bisa. Aku tak berdaya, tak mungkin aku memintanya untuk kembali mengisi kehampaan hati ini. Jelas ia meninggalkanku karena tak ada cinta lagi dihatinya untukku. Dia telah membohongiku. Dia bilang aku berbeda dan tak mungkin ia lepas begitu saja. Kenyataan menjawab semua, itu hanyalah kalimat pemikat yang sukses menjerumuskanku dalam perasaan cinta dan sayang yang sangat dalam. Dia tega meninggalkanku setelah berhasil memiliki hatiku sepenuhnya. Aku takut aku takkan kuat melawan gejolak hati ini.
                Adzan isya berkumandang, bergegas aku mengambil air wudhu. Aku ingin mengadu kepada sang Khalik, menenangkan fikiran dan menetralkan perasaan. Aku harap aku bisa kuat menjalani hari-hari esok yang masih misteri. Dan harapan untuk kembali kepada Rian kembali akan ku tepis dan kuhapus. Terlalu tinggi untuk menggapai cinta lama itu kembali.
                Jam menunjukkan pukul 23.00, namun mata ini tak kunjung terpejam. Dalam keheningan malam rasa kesepian mulai menyeruak. Ingatan lalu diam-diam menyusup ke dalam fikiran yang kalut, datang perlahan dan akhirnya menguasai fikiranku. Aku teringat semua hal yang telah aku dan Rian lewati. Sungguh bahagia dan beruntungnya aku saat itu. Dadaku terasa sesak, menahan kerinduan. Aku rindu saat tertawa bersamanya, aku rindu jalan berdua dengannya, aku rindu menemaninya, aku rindu saat dia datang menemuiku, aku rindu saat dia bela-belain menjemputku yang saat itu sedang hujan, aku rindu... aku rindu semua saat masih bersamanya.
                Malam semakin larut, segera aku akhiri lamunan yang tak kunjung berakhir. Mataku mulai lelah, lelah seperti fikiranku yang terus mengingat dirinya. Aku harap bisa bertemu Rian kembali dalam mimpi, dan aku akan memuaskan diriku dengan memandangnya selama dan sebebas yang ku mau. Hanya lewat mimpi aku berani melakukan hal yang tak berani aku lakukan dalam dunia nyata. Aku masih mencintaimu Rian, terimakasih pernah memberiku cinta yang tulus walau hanya sementara namun aku tetap bahagia, bahagia saat bersamamu. Sampai sekarangpun aku masih “bersamamu”, namun tidak denganmu.

Minggu, 5 Mei 2013