Selembut Sutera
Suatu desa yang tenang, jauh dari
keramaian dan kebisingan kota menjadi tempatku untuk menenangkan diri. Segala
yang kulewati terasa berat saat semua telah berakhir. Aku masih terngiang akan
kenangan-kenanganku bersamanya. Betapa indah saat aku bisa selalu ada
disampingnya. Namun semua telah berakhir.
Aku
beranjak dari kursi goyang yang telah satu jam kududuki, kursi goyang yang
dulunya menjadi tempat favorit almarhumah nenek. Aku berjalan menuju halaman
rumah, mencoba mencari tempat yang baru untuk melepas penat. Kutemukan sebuah
kursi batu dihalaman samping, kemudian kutemukan dedaunan kering diatas kursi
batu tersebut, segera kubersihkan agar aku bisa duduk dan kembali terbuai dalam
kenangan masa lalu.
Satu
tahun yang lalu saat semua masih terasa indah, aku merasakan kasih sayang yang
amat besar dari seorang Dilan, lelaki yang menjadi tokoh utama dalam cerita
masa laluku. Wajahnya yang ganteng itu selalu menghantui fikiranku. Terkadang
dalam sepiku aku membayangkan ukiran senyum manis diwajah Dilan yang dulu
sering aku dapatkan. Begitu manis cerita cintaku bersama Dilan yang akhirnya
kandas karena keputusan bodohku.
***
Dilan
merupakan sosok lelaki yang jauh dari agama. Dia senang dengan kehidupannya
yang bebas, tanpa aturan-aturan yang menurutnya sangat mengekang. Dia urakan,
sering berbicara kasar, bahkan ia tak punya empati sedikitpun dengan
orang-orang disekitarnya. Pertama aku mengenalnya aku sangat tidak suka, bahkan
aku membenci dirinya. Namun semakin hari aku merasakan ada yang aneh dari diri
Dilan. Dilan mulai mendekatiku, dan mengubah caranya dalam berperilaku
dihadapan perempuan khususnya aku. Dia mencoba mengajakku berkenalan walau aku
sering jutek. Aku juga tidak tahu mengapa Dilan sampai tertarik kepadaku. Aku
tidak merasa cantik ataupun lebih dari wanita-wanita lain, aku wanita biasa
bahkan aku adalah wanita berkerudung. Awalnya aku tidak terlalu menggubris
usaha Dilan mendekatiku, aku tahu Dilan tidak suka wanita bererudung, dia suka
wanita yang gesit dan lincah, tidak seperti aku wanita yang pendiam dan jutek.
Disuatu
sore yang mendung, aku bertemu Dilan di masjid kampus. Sontak aku kaget, aku
tidak pernah melihat Dilan dimasjid bahkan melakukan ibadah disana. Yang aku
tahu Dilan itu suka berkumpul bersama teman-temannya di tempat biasa ia
nongkrong dikampus. Apa ini sebuah keajaiban? Lalu aku dikejutkan oleh suara
yang tak asing ditelingaku. Dilan memanggilku, dia menyadarkanku dari
lamunanku. Astaga, saat itu aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bengong
saat melihat Dilan yang tiba-tiba telah berada dihadapanku. Dan kamipun
terlibat percakapan singkat.
“Nisa,
kamu kenapa hanya berdiri disini? Ga solat?”
“Oh
aku, emm aku, iya aku mau solat kok”
“Yaudah
sana segera, aku mau pulang, assalamualaikum”
“Waalaikumussalam”
Bagaimana
bisa ini dipercaya, bagaikan mimpi. Dilan menyapaku, menyuruhku segera solat,
dan berpamitan mengucapkan salam kepadaku. Ini salah satu bentuk kebesaran-Nya,
Dilan telah mendapat hidayah.
Aku
pun selesai melaksanakan solat. Seperti biasa aku pulang melewati jalan yang
berada disamping masjid. Hal yang tak aku duga, Dilan menungguku dan mengajakku
pulang bersama. Jelas aku tak bisa, aku belum sepenuhnya memercayai seorang
Dilan.
“Nisa,
pulang bareng yuk”
“Maaf
Dilan, aku ga mau ngerepotin kamu, lagian kostanku dekat dari sini kok”
“Nisa,
maaf aku... aku suka sama kamu” seketika mendengar ucapan Dilan tersebut aku
mematung, aku mimpi atau apa, tapi barusan Dilan benar-benar mengatakan kalau
dia suka aku. Mengapa bisa? Aku wanita yang berbeda dari teman-teman wanitanya.
“Dilan,
kamu apa-apaan sih. Ga lucu bercandanya”
“Aku
ga bercanda. Salah ya kalo aku suka sama kamu? Aku suka karna kamu berbeda dari
wanita-wanita yang lain”
“Ga
salah kok, sekedar suka kan? Kamu ga salah” aku berusaha menghargai Dilan
“Salah
satu yang bikin aku suka kamu, kamu bicaranya halus dan lembut, tidak seperti
teman-teman wanitaku” ujar Dilan seraya menundukkan kepalanya. Entah itu karena
ia malu mengatakannya atau sedang berbohong. Namun, aku tidak meyalahkan ucapannya,
dari kecil aku telah diajarkan oleh bundaku untuk menjadi wanita yang lembut.
“Makasih
Dilan. Aku pulang dulu ya, assalamualaikum”
“Waalaikumussalam,
hati-hati ya” ujar Dilan lembut. Aku tak penah mendengar Dilan berbicara
selembut itu. Apakah Dilan benar-benar berubah? Semoga saja benar.
Dari
percakapan-percakapan singkatku bersama Dilan dan kedekatanku bersama Dilan
yang udah berjalan tiga bulan, tumbuh benih-benih cinta dalam diriku. Dilan
benar-benar berubah, dia menjadi sosok lelaki yang taat beribadah dan
penampilannya pun berubah total, serta tutur katanya tak lagi kasar. Semua
perubahan itu berawal dari rasa kagum Dilan terhadapku.
“Nisa,
aku berubah karna kamu” Dilan membuka pembicaraan diantara kami dalam
perjalanan pulang.
“Kenapa?”
“Aku
kagum sama kamu, aku mau jadi pacar kamu” Dilan selalu saja membuatku terkejut,
lama-lama aku bisa terkena serangan jantung.
“Apa
aku ga salah dengar?”
“Ga
nisa, udah tiga bulan kita temenan dan deket, aku makin yakin kalo aku
benar-benar suka kamu bahkan cinta sama kamu” kali ini Dilan bicara sangat
serius.
“Aku
harus jawab apa?”
“Aku
ga mau maksa kamu”
“Haha,
mukanya serius amat, ga usah terlalu tegang gitu”
“Jadi?”
“Iya
aku ga bisa nutupin perasaanku lagi, selama ini aku juga udah suka sama kamu
sejak kamu berubah”
“Bener?
Aku ga mimpi???”
“Ga
Dilan, aku mau kamu tetap seperti ini. Semoga perubahan ini bukan demi kamu
yang hanya ingin menjadi pacar aku”
“Ga
nisa, aku berubah karna kamu karna aku sadar kalo aku ini ga baik. Aku ingin menjadi
lebih baik lagi demi orang tuaku, juga demi kamu, wanita yang ingin selalu
kulindungi”
“Berubahnya
yang ikhlas. Kalau suatu saat aku pergi kamu ga boleh berubah jadi Dilan yang
dulu lagi. Janji?”
“Iya,
aku janji nisa” ujar Dilan seraya tersenyum dengan girangnya.
Sejak
saat itu aku menjalin hubungan bersama Dilan. Dunia terasa indah saat aku
berada disampingnya. Dia baik, sangat baik. Bahkan aku ingin Dilan kelak
menjadi imam dalam keluargaku.
***
Aku
tersadar dari lamunanku, kurasakan air membasahi kerudungku. Aku tak sadar
kalau telah turun hujan. Segera aku berlari ke dalam rumah. Aku menuju kamar,
merebahkan tubuhku dan mencoba melepas penat. Aku ingin sekali tidak mengingat
segala tentang Dilan, namun selalu saja gagal. Memang tak mudah, apalagi aku
pernah menginginkan Dilan sebagai masa depanku. Namun semua harus kandas saat
aku mengetahui bahwa aku mengidap penyakit leukemia. Aku tidak tahu sejak kapan
penyakit ini telah bersarang ditubuhku. Aku hanya tahu bahwa penyakit ini
menjadi penyebab kandasnya harapan-harapanku, melenyapkan mimpi-mimpiku bersama
Dilan.
Aku
sengaja menjauh dari Dilan dan memutuskan hubungan ini. Umurku tak lama lagi,
biarlah aku pergi dalam sepi. Biarlah Dilan menganggapku jahat. Aku mengaku
bahwa aku pergi karena telah dijodohkan dengan lelaki lain. Tanpa Dilan tahu
yang sebenarnya, bahwa aku melakukan kebohongan ini karena aku tidak ingin
Dilan tahu aku mengidap penyakit leukimia yang telah merenggut semua harapan
dan mimpiku. Dilan maafkan aku.
Terasa
pusing saat aku beranjak dari tempat tidurku. Aku menahan segala rasa sakit
yang kuderita. Dirumah ini, aku hanya tinggal bersama ayah dan bundaku. Aku
ingin hanya mereka yang nantinya menyaksikan kepergianku.
Malam
pun datang, kubuka jendela kamarku. Aku menghirup udara malam yang dingin,
kurasakan suasana yang tenang dan sunyi. Segera aku mengambil wudhu,
melaksanakan solat malam. Ku curahkan semua kepada sang Khalik, segala
kesakitanku menahan penyakit ini dan kepedihan atas kebohongan yang telah
kuperbuat terhadap Dilan. Dilan yang bertekad berubah demi diriku, kutinggalkan
begitu saja dengan segala kebohonganku. Aku ingin ia cepat melupakanku agar aku
bisa pergi dengan tenang. Namun sepertinya ini meyiksaku, semakin hari aku
semakin memikirkan Dilan dan kebohonganku. Aku memutuskan untuk tidur, berharap
esok aku masih bisa terbangun.
***
Kicauan
burung dipagi hari dan suara kokok ayam membangunkanku, tak lama dari itu
kudengar suara adzan subuh yang berasal dari masjid depan rumah. Aku beringsut
dari tempat tidurku lalu merapikannya. Segera aku menuju kamar mandi dan
mengambil wudhu. Semua terasa damai saat air wudhu mulai mengalir lembut dan
pelan membasahi seluruh wajahku. Aku harus yakin aku bisa melewati saat-saat
terakhirku tanpa kehadiran Dilan. Selesai mengambil wudhu aku mengambil mukena
yang berada diatas kasur, mungkin bunda yang telah meletakkannya, setahuku
mukena sejak tadi malam berada dalam lemari. Aku terkejut saat aku membalikkan
badan, kulihat seseorang yang tak asing lagi, dia sangat ku kenal. Dilan!! Dia
Dilan, Dilan ada disini, dihadapanku.
“Dilan,
kenapa kamu ada disini?” Tanyaku penuh tanya dan terheran-heran.
“Aku
kesini karena bunda kamu. Semalem aku udah berada disini”
“Bunda?
Kok bisa bunda......”
“Ayo
kita solat, aku yang jadi imam” Dilan memotong pembicaraanku, aku hanya menurut
saja. Saat itu aku sangat senang dan bahagia, namun bagaimana dengan kebohongan
yang telah aku buat?
Setelah
selesai solat, kami semua berkumpul diruang keluarga. Disana bunda menjelaskan
yang sebenarnya. Aku hanya diam, aku menuruti saja kemauan orang tuaku. Mungkin
aku memang salah telah membohongi Dilan. Satu jam kami terlibat dalam
percakapan yang serius, bunda dan ayah meninggalkan kami berdua, mereka ingin
kami menyelesaikan permasalahan kami.
“Nisa,
aku kangen kamu. Kangen Nisa yang lembut, kangen Nisa yang.........”
“Udah
Dilan, aku akan pergi” aku memotong pembicaraan Dilan.
“Aku
tahu, makanya aku kesini, aku ingin ada disamping kamu di saat-saat terakhir
kamu”
“Maafin
aku yang udah bohong kalo aku.......”
“Ssst,
aku udah maafin kamu. Udah ya jangan dibahas lagi soal itu” Dilan sangat baik,
dia memaafkan atas segala kebohonganku.
“Kamu
tetap menjadi wanita yang baik, anggun, dan lembut dimataku, Nisa. Kamu wanita
yang solehah” lanjut Dilan berkaca-kaca. Aku tahu Dilan sedang menahan air
mata. Sedangakan aku, aku membiarkan air mataku jatuh. Aku tak bisa menahannya
lagi ketika melihat raut wajah Dilan yang berubah menjadi sedih seperti itu.
“Jangan
nangis dong, cantiknya entar hilang loh” Dilan berusaha menghiburku seraya
mengahapus air mata yang membasahi wajahku.
“Kasian
juga tissuenya, entar habis karena ngapusin air mata Nisa haha” Dilan
mengajakku bercanda, akupun hanya mengukir senyum diwajahku dan menghentikan
tangisku.
“Begitu
kan cantik” ujar Dilan seraya menatapku dan tersenyum.
“Dilan,
aku akan pergi”
“Iya
aku tahu kok. Walaupun Nisa akan pergi, Nisa tetap hidup di hati aku. Kamu
cintaku yang istimewa, kamu wanita yang penuh kelembutan, kamu telah berhasil
mengubahku” ujar Dilan membanggakanku.
“Bukan
aku, tapi kemauan diri kamu sendiri...” jawabku singkat, aku tak sanggup
melanjutkannya, kepalaku terasa pusing sekali. Hidungku terasa akan mimisan
lagi.
“Nisa,
kamu itu selembut sutera. Baik dari tutur katamu, wajahmu, sampai caramu
menyayangiku dengan sabar dan lembut” ku lihat wajah Dilan begitu tulus
mengucapkan kata-kata yang barusan keluar dari mulutnya. Namun rasa pusing ini
tak tertahankan lagi.
“Nis,
kamu mimisan!” Dilan sangat kaget melihatku mimisan, terlihat samar-samar
wajahnya sangat khawatir melihat keadaanku. Dia panik, mengambil tissue dan
memanggil ayah dan bundaku dengan penuh kecemasan.
“Nisa,
kumohon bertahan..” ujar Dilan terdengar lirih.
“Aku
sangat sayang ayah sama bunda. Aku sayang dan sangat sayang kamu Dilan”
semuanya teras sesak, sempit, dan gelap.
***