Sabtu, 24 Agustus 2013

Kau Tak Pernah Tahu



Kau Tak Pernah Tahu



Ketika ku telah melangkah jauh, pengabaianmu cukup membuat semua usahaku tak berarti…
Aku tak bisa menggapai bintang yang selama ini menerangi hatiku.


Aku belum beranjak dari tempat tidurku. Rasa malas menyelimutiku pagi ini. Tak ada sedikit semangatpun. Tatkala itu aku pun jua belum beranjak dalam rasa kecewa dan pupus. Aku diabaikan…
Sembari berguling di tempat tidur aku membuka pesan masuk di handphoneku. Ku baca pesan singkat darimu yang kau kirim beberapa hari yang lalu, ada biasa ada juga yang manis hingga membuatku tersenyum sendiri. Aku suka ucapan selamat malam, selamat berbuka, selamat sholat, yang semua itu darimu, aku suka saat kamu mengajakku pergi bareng ke kampus lewat pesan singkat itu. Aku tersenyum kecil membaca semua itu, dan sesekali tertawa ketika membaca candaan kita via pesan elektronik itu. Semua itu berlalu begitu saja, terasa singkat.
          Ada hal yang harus kamu ketahui. Aku menyimpan perasaan kepadamu. Mungkin kamu akan mengira rasaku ini baru hadir disaat kebersamaan kita sekitar 2 bulan belakangan ini. Iya, itu memang benar, benar aku mencintaimu ketika kita mulai dekat. Namun aku mulai meyukaimu saat pertama kita bertemu. Aku tidak tahu apakah kamu juga merasakan hal yang sama sepertiku. Namun logika berkata bahwa tak sedikitpun kamu menyimpan rasa yang sama sepertiku. Semua pesan singkat manismu itu hanyalah sebatas teman, tak ada yang spesial, hanya aku yang ge er, iya kan? :’) .
          Dulu saat aku mulai menyukaimu aku berhasil membatasi perasaanku, aku tak mau rasa sukaku menjadi cinta. Ada hal yang memberatkan hatiku untuk mencintaimu, mungkin kau juga seperti itu. Lalu aku bertemu seseorang yang lain yang berhasil memikat dan memiliki hatiku, dan aku sangat menyayanginya. Ketika itu aku berhasil untuk tidak mengembangkan perasaanku padamu. Rasa suka itu memang masih ada, namun hanya sebatas teman ataupun adik, tidak lebih. Beberapa bulan setelah itupun aku kembali sendiri, orang yang kucinta dan kusayangi setulus hati dengan mudah melepaskanku. Aku sakit, sangat sakit. Lalu beberapa bulan jua dari itu rasa yang pernah ada kini kembali disaat kebersamaan kita. Aku mulai sedikit banyak mengenalmu. Aku suka padamu, caramu, lakumu, juga kerajinanmu. Dimulai dari mengerjakan tugas bersama hingga sholat bersama, semuanya bersama. Aku suka saat bersamamu.
          Sekarang semua berbeda, aku tak menangkap pancaran cinta darimu. Mungkin benar cintaku hanya sepihak. Padahal telah banyak harapku untuk bisa memilikimu dan cintamu. Disaat kenyataan berbicara aku hanya bisa diam dan tersenyum, hanya kekecewaan dan pupus yang bisa dideskripsikan untuk yang kurasa saat ini. Segala pesan singkatmu itu ternyata biasa saja, tak ada yang spesial. Namun mengapa aku selalu menganggap semua itu sangat istimewa. Ah! Aku terlalu berangan-angan. Tak ada tanda sedikitpun darimu. Jikapun ada, pasti itu hanya sesaat, lalu kamu kembali terlihat biasa tanpa ada apa-apa. Sakit saat aku harus memendam cinta sepihak.
          Ada saatnya aku berada pada puncak keletihanku. Saat itu mungkin aku telah berhenti berharap, mengharapkan cintamu yang mungkin tak akan pernah aku miliki. Apa bisa ini disebut sebuah kesalahan? Salah ketika aku mulai membiarkan perasaan ini berkembang hingga akhirnya tepat aku benar-benar mencintaimu dan tak ingin kehilangan senyum juga dirimu. Saat itu mungkin sekarang. Ketika ku telah melangkah jauh, pengabaianmu cukup membuat semua usahaku tak berarti. Aku tak bisa menggapai bintang yang selama ini menerangi hatiku.
Aku kan berhenti mengharapkanmu, memberhentikan langkahku ketika letih yang kurasa dalam bertahan sendirian menyimpan cinta sepihak. Kau tak pernah tahu itu.

Jumat, 16 Agustus 2013

Pupus



Pupus Cita Cintaku Padamu




Selasa, 13 Agustus 2013

                Ini adalah kesekian kalinya aku menulis, menulis tentangmu. Dalam kesendirian tak hentinya bayangmu datang memenuhi pikiran. Semua ini tentangmu, dari awal hingga sekarang, mungkin sampai puncak keletihanku.
          Tanpa aku terlalu mencari tahu segala tentangmu, aku kan tahu dengan sendirinya. Padahal aku telah menghentikan langkah ini yang terus memperjuangkan cinta. Namun, suatu kabar yang menghentikan tekad itu. Aku tak tahu haruskah aku bahagia atau turut bersedih. Namun tak bisa ku pungkiri, karena berita itulah aku membelokkan niatku, kembali aku menaruh harap padamu.
          Kedekatan kita selama ini sangatlah berarti bagiku, entah bagaimana denganmu. Aku sangat bahagia ketika bersamamu, dekat denganmu. Terlebih sekarang aku tak merasa berdosa lagi menyimpan perasaan terhadapmu. Harapku, aku bisa memilikimu, memiliki hatimu, sepenuhnya. Setiap malam sebelum tidurku, aku selalu memikirkanmu, mengingat ukiran senyum diwajahmu, tawamu yang ceria yang sangat aku suka. Di akhir solatku, aku pun terus mendoakanmu, walau sempat terhenti ketika aku berfikir aku terlalu bermimpi mendapatkanmu. Namun sekarang aku berusaha menggapai mimpiku itu kembali, berpacu dalam harap, harap terwujudkan menjadi nyata.
          Kau tidak tahu betapa bahagianya aku ketika berada didekatmu. Dan ku lihat kau pun sama, kamu sepertinya memberiku harapan. Selama kesempatan itu ada, aku selalu berusaha menyelusup kedalam hatimu, inginku isi hatimu dengan segala tentangku. Namun, harus ku ulangi lagi “kamu sepertinya memberiku harapan” ya, tepatnya harapan palsu! Apa kau sengaja membuat perasaanku menjadi labil? Kau buatku bahagia sangat bahagia, lalu kau buatku terjatuh dengan sikap dingin dan biasamu itu. Aku tidak mengerti apa yang kamu pikir dan rasakan. Kau memberiku harapan, namun kau menghancurkan harapan itu dengan sikapmu jua. Aku tidak mengerti jalan pikiranmu. Apa maksud perlakuanmu selama ini? Apa kita hanya sebatas adik-kakak saja? Iya?
          Tak perlu kau beriku perhatian lebih seperti yang telah kamu beri kepadaku. Ini tidak tepat disebut hanya sebatas adik-kakak. Terasa special dan berbeda. Aku sempat berpikir bahwa kamu sengaja melakukan ini, memberiku harapan palsu. Kenapa sengaja? Apa aku pernah berbuat salah padamu? Aku tidak tahu dan tidak mengerti jalan pikiranmu. Kau terbangkan lalu kau jatuhkan kembali. Ya, terus seperti itu. Kau tak tahu betapa sakitnya aku, kau buatku menjadi labil akan perasaan ini.
          Kamu yang kukenal adalah lelaki yang baik, sangat baik. Aku tak mau kehilanganmu, aku ingin memilikimu. Diantara harapan yang ku pikir harapan palsu, terbesit dipikiranku kata-kata yang sedikit, namun cukup membuat sakit. Mungkinkah ini yang membuatmu seakan memberiku harapan palsu? Kau tidak mau melakukan apa yang pernah kau lakukan dulu, kau tidak mau menanggung resikonya. Kau tak mau menjalin cinta dengan orang terdekat yang selalu bersama dan selalu bertemu setiap hari. Kau tak mau ketika cinta itu pudar kan ada perasaan tidak enak didalamnya.
          Cukup sulit untuk ku mengerti, aku kecewa dan aku pupus. Adalah yang ku takutkan, bahwa kebahagiaan ini hanya bersifat sementara, dan tak pantas aku terlalu berbahagia. Kau pasti bertanya-tanya kenapa raut wajahku tiba-tiba suka berubah saat bersamamu. Itu karena aku pupus, harapanku patah ketika tahu kau tak akan bisa mencintaiku. Walau ku tahu kau tak bilang seperti itu, tepatnya maksud dari ucapanmu seperti itu. Cukupkah adik-kakak bagimu? Tapi tidak bagiku. Ku ingin kebersamaan kita selama ini kan mengukir cerita cinta pada akhirnya dan selalu dalam kebahagiaan dalam kesederhanaan dan apa adanya.
          Cerita tentangmu takkan pernah habisnya. Kau selalu mengukir cerita baru dalam hari-hariku. Entah itu bahagia, sedih, galau ataupun kecewa. Kini aku kan mencoba mengerti dan mengehentikan harapku untuk memiliki hatimu sepenuhnya. Biarlah kau anggap aku sebagai saudaramu, semoga hal itu takkan membuat kita terpisah. Aku kan membuka hati untuk cinta yang lain. Terima kasih atas segala cerita, kenangan, senyum, dan tawa selama ini. Ku harap takkan berhenti sampai disini walau kita tak bisa bersama. Perih ketika ku pikir segalanya takkan menjadi apa yang kuharap, sakit saat harus menerima bahwa kamu tak bisa mencintaiku dikala kesempatan itu ada.
Dan, terima kasih telah bisa membuatku move on dari masa lalu :’) . Semoga tidak sementara.

Selasa, 13 Agustus 2013

Untuk Nenek :')



Untukmu yang Telah Pergi



          Dingin suasana malam dikota kelahiranku. Malam ini adalah malam terakhir tarawih di bulan ramadhan tahun ini. Jalanan dipenuhi para muslim yang habis selesai menunaikan tarawih. Tak hanya itu, jalan raya pun diramaikan oleh berbagai kendaraan, rata-rata diantara mereka bertujuan mudik ke daerah masing-masing. Ketika mendengar ataupun mengucapkan kata mudik, seketika hati ini terasa tercabik, sakit dan sesak ketika melihat orang-orang yang berencana lebaran bersama keluarga besar mereka di kota, daerah, ataupun kampung halaman masing-masing. Sedang aku disini, di kota kelahiranku tak terlalu banyak keluarga. Hanya saja aku bersyukur memiliki banyak teman yang selama ini banyak menemaniku dan mengisi hariku hingga aku bisa merasakan keceriaan dan kebahagiaan.
          Menelusuri jalan menuju pulang dimalam yang penuh kehangatan, hangat ketika bersama-sama pulang habis menunaikan tarawih. Seketika mataku berkaca-kaca sendiri. Terlintas di otakku hingga membuat fikiran ini membuka memori lama setahun lalu yang meninggalkan kesedihan sangat mendalam. Aku teringat nenek, ibunda mamaku. Hari ini hari dimana 2 hari sebelum hari raya idul fitri, tepat setahun lalu aku dan keluarga ditinggal pergi nenek untuk selamanya. Aku tidak tahu tepat apa yang kurasakan, semua bercampur menjadi satu, sedih, menyesal, gundah, rindu, sesak, semuanya kurasa. Biasanya nenek selalu menyuruh kami sekeluarga untuk mudik, berlebaran bersamanya. Ketika nenek masih ada, kami jarang untuk mengabulkan permintaannya. Aku sekeluarga sibuk dengan urusan masing-masing disini, dikota ini. Seolah tak ada waktu yang tepat untuk menjenguk nenek disana. Wajar jikalau nenek sering kecewa. Dan sekarang, ketika semua telah terjadi atas suratan-Nya, semua tinggal sesal dan kesedihan yang sangat amat mendalam.
          Aku telah sampai dirumah, kulepas dan kugantungkan mukenaku. Aku duduk diatas kasur, dalam kesedihan kukenang seorang yang sangat kusayangi itu, nenek. Setahun yang lalu, tepat tanggal 28 Ramadhan 1433H (Jumat, 17 Agustus 2012), aku dengan berat hati meninggalkan acara upacara besar hari kemerdekaan RI. Aku memang sudah lulus dari sekolah, tapi aku sangat ingin melihat junior-juniorku mengibarkan sang merah putih, melihat pasukan 8 dimana dulu aku yang berada dalam salah satu posisinya. Semuanya ku urungkan, aku lebih memilih mudik menjenguk nenekku yang sedang sakit, yang sedang merindu dan menanti kedatangan 2 orang cucu yang ia sayangi yang telah lama tak bertemu, aku dan kakakku. Sepanjang perjalanan perasaanku berkecamuk, aku juga sangat sedih tidak bisa menghadiri sebagai tamu pada upacara hari kemerdekaan. Di balik kesedihanku aku berfikir keputusan ini tepat, nenek sangat lebih membutuhkan kehadiranku.
Sesampainya dirumah nenek, aku melihat nenek terbaring lemah diatas kasurnya. Tak tahan aku melihatnya, air matapun jatuh tak kusadari membasahi pipi. Segera aku menuju nenek, duduk didekat dimana ia berbaring. Nenek sudah tak bisa bicara lagi, mulutnya pun sulit untuk ditutup. Melihat itu ada perasaan tidak enak dalam batinku. Apakah hari ini adalah……. Segera kutepis pemikiran tololku, aku tak boleh melanjutkannya, siapa tahu saja nenek bisa sembuh. Ketika Allah berkehendak semuanya bisa saja terjadi, yang tak mungkin bisa menjadi mungkin.
          Aku menangis tersedu tak bersuara, aku tak bisa berkata-kata terlebih saat nenek berusaha berbicara memanggil namaku. Nenek sangat fokus melihatku yang tengah menangis dihadapan dimana ia berbaring. Seketika suasana rumah nenek menjadi haru dan sedih, tak sedikit yang menangis. Mama pun bilang pukul 9 pagi sebelum kedatangan kami nenek masih bisa bicara. Ini menambah keganjilan dalam fikiranku. Tidak-tidak, aku tidak boleh berfikiran buruk. Tiba-tiba nenek meraih tanganku, dan menggenggam erat. Ketika itu aku semakin terisak, apalagi saat itu kulihat tatapan mata nenek yang sendu dan sangat dalam menatapku. Aku yakin didalam hatinya nenek sedang mengatakan sesuatu namun tak bisa mengungkapkannya karena tak bisa bicara lagi. Lama sekali nenek memandangku dan menggenggam erat tanganku. Tak kulepaskan genggaman tangan nenek, walaupun aku harus merelakan kakiku kesemutan. Sambil menonton upacara kemerdekaan di istana merdeka di TV, aku kembali menangis, menangis sedih karena nenek, juga karena upacara kemerdekaan itu. Kulihat nenek, ia masih saja memandangiku. Mungkin ia sangat merindukanku juga kakakku. Telah sangat lama kami tak bertemu. Ketika bertemu, nenek dalam keadaan sakit seperti sekarang. Tak lama kemudian nenek terlelap tidur, kulepaskan perlahan tanganku, kuhapus sisa-sisa air mata lalu aku pun berbaring disebelah nenek. Terlintas difikiranku teringat akan rencana yang telah kupersiapkan dari kota. Aku akan menghatamkan bacaan Al-Qur’anku dihadapan nenek setelah melewati setengah dari juz 30. Ya, saat itu bacaanku telah sampai lebih dari setengah juz 29.
          Pada siang hari kami semua berkumpul diruang depan bersama nenek yang terbaring dengan tenang. Aku dan sepupu-sepupuku menonton dan tetap didekat nenek. Sedangkan mama, papa, dan keluarga yang lain duduk didekat nenek seraya melihat keadaan nenek. Saat itu pukul 2 sore, nenek seperti mengeluarkan busa dari mulutnya, semua panik namun dikira itu adalah sesuatu yang mengganjal tenggorokkan nenek sejak tadi pagi. Namun nenek tetap saja tenang dalam tidurnya. Nenek juga terlihat sangat berkeringat, mama dengan penuh kasih mengelap keringat di wajah dan tubuh nenek. Sekitar pukul setengah 4 sore, saat adzan ashar berkumandang seisi rumah kembali panik ketika nenek bertingkah tak biasanya. Nenek mulai bergerak dari tidurnya, namun nenek bukan bangun namun nenek tidur kembali dan tidur untuk selama-lamanya. Aku sontak berucap lirih “neneeeek!” ku dekati nenek dan saat itu wajahnya menguning lalu perlahan memucat. Nenek telah pergi, ia pergi meninggalkan kami semua. Aku terduduk lemas, memandangi tubuh nenek yang mulai dikelilingi banyak orang. Pandanganku kosong dan hampa seraya air mata jatuh dengan deras, seperti saat aku menulis saat ini. Apa yang kurencakan pupus, apa yang kami sekeluarga rencanakan juga pupus bersamaan kepergian nenek.
          Malam lebaran, aku telah sampai pada juz 30, sebentar lagi aku akan hatam Al-Qur’an untuk pertama kalinya. Saat ku baca dan kulantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an saat itu pulalah aku menangis teringat nenek. Harusnya sekarang aku mengaji dihadapan nenek, namun takdir berkata lain. Sehabis mengaji aku berbaring dikamar bersama 2 orang sepupuku. Ku dengar diluar sana suara bersahut-sahutan menggemakan takbir dimalam lebaran. Itu menambahkan kesedihanku dan aku kembali menangis dalam diam. Melihat keadaanku seperti itu kedua orang sepupuku yang juga cucu nenekku ikut sedih dan menangis. Terlintas difikiranku, harusnya saat ini kurasakan suasana hangat keluarga dimalam lebaran dan sama-sama mengucap syukur dan berbahagia atas kelulusanku disalah satu perguruan tinggi negeri dikotaku. Kembali lagi, takdir berkata lain. Mungkin disana, di surga sana nenek tengah tersenyum bahagia atas kelulusanku yang tak sempat kubagi kebahagiaannya bersama nenek. Saat itu aku telah menginjak usia dewasa dan akan menginjak bangku perkuliahan. Aku harus membuat nenek terus bangga disana. Dan disaat subuh pada hari lebaran, akhirnya aku menghatamkan bacaan Al-Qur’anku. Aku bahagia juga bersedih dan kembali aku menangis dalam diam seraya memeluk erat Al-Qur’anku dimana aku masih mengenakan mukena, mukena yang sering dipakai nenek ketika solat  dan duduk diatas sajadah.
          Kini telah setahun terlewati, tak terasa aku meneteskan air mata lagi ketika mengingat semua itu. Ramadhan tahun ini memang banyak diberi Allah kebahagiaan, namun bukan berarti melupakan nenek yang sekarang pasti tengah berbahagia di surga sana. Aku merindukanmu, nek, sangat merindukanmu. Aku selalu teringat ketika nenek menggenggam erat tanganku, namun sayang aku tidak tahu apa yang mau nenek sampaikan saat itu. Sekarang nenek pasti sudah tahu dan melihatku kalau sekarang aku telah berjilbab sejak hari pertama kuliah hingga sekarang. Semoga ini seumur hidup aku mengenakan jilbab, kuharap nenek senang dengan perubahanku yang sekarang telah memakai jilbab, telah menutup auratku. Tulisan ini untukmu, nenek, mewakili rasa sedih dan rinduku. Andai saja nenek masih ada, kan ku peluk nenek dengan erat, kan ku pamerkan pada nenek bahwa cucumu ini telah berjilbab sekarang dan takkan pernah ku kecewakan nenek :’)
          Nenek, semoga engkau bahagia disurga sana, sangat bahagia :’) . disini kami merindumu…

Sabtu, 03 Agustus 2013

Semua Karena Cinta


Semua Karena Cinta



Adalah cintaku…
Jeritan yang tak pernah kau dengar, sentuhan yang tak pernah kau rasa……

Aku… aku yang dalam diamku, memendam sebuah perasaan yang selama ini mengguncang hatiku. Aku terguncang akan rasa yang menggebu, ingin memilikimu. Aku tak pernah tahu kapan rasa ini singgah dan akan pergi nanti. Aku terguncang bahkan sulit untuk berfikir jernih dalam kemarahan mencintaimu. Amarah yang menyakiti batin, aku tak bisa meluapkannya walau rasa ingin sekali menumpahkan segala amarah dan kesal dalam kehampaan. Aku terguncang, fikiranku entah kemana-mana. Ini selalu terjadi saat aku melihatmu bersama wanita lain.
          Sulit untuk kuterima namun ini adalah kenyataan. Kau telah memiliki kekasih, wanita beruntung yang telah berhasil memiliki dirimu juga cintamu. Aku sadar dalam kesendirian ini aku tak pantas mengharapkanmu lagi. Lalu ketika aku cemburu, itu sangatlah tak pantas kulakukan. Apa hak ku? Aku hanya teman baikmu dan tak lebih dari itu. Aku tak berhak cemburu ketika melihat kau bercanda dengan wanita lain. Namun aku tak bisa bohong, aku tak bisa mengelak kalau aku cemburu sangat cemburu. Kau tak tahu rasanya memendam cinta, amarah, dan cemburu. Sakit, bukan fisik namun batin. Sungguh aku tersiksa akan cinta yang kupendam ini. Aku tak bisa mengungkapkan, tak ada daya bahkan untuk memendamnya saja aku tak pantas. Logikaku sangat ingin mengusirmu dalam fikiran yang memenuhi memoriku. Namun hati, sungguh tak berdaya, aku lemah melawan hati sendiri. Rasa yang bertumbuh sejak lama dihati mengalahkan akal sehatku untuk menerima kenyataan kau telah dimiliki kekasihmu dan aku lebih tak menerima kau kan direbut wanita lain, temanku, teman kita, aku tak menerimanya!
          Sejurus aku berfikir bahwa kau tak pantas membuatku cemburu dengan segala candaanmu bersama wanita lain yang bukan kekasihmu. Aku yakin kau sengaja lakukan itu dihadapanku yang aku tak tahu apa maksudmu sebenarnya. Aku yakin kamu mengetahui perasaanku terhadapmu hingga kau sengaja membuatku cemburu. Apa kau tak sadar dengan kau melakukan itu kau telah menggoreskan luka yang teramat dalam dihatiku. Aku menangis dalam batin, aku terluka bahkan hati ini terasa tercabik-cabik akan lakumu yang seolah tak berdosa itu. Kau sengaja membuat wanita lain tergila-gila padamu, kau jerat dalam perasaan yang tak karuan yang bisa disebut cinta. Kau ingin aku sakit mencintaimu? Kau telah memiliki kekasih saja aku sudah merasa sakit, terlebih sengaja kau membuatku cemburu dihadapanmu.
          Dikala itu aku hanya tersenyum, senyum yang menyimpan banyak luka. Aku berusaha kuat dan tegar dalam menahan rasa cemburuku agar tak bisa kau lihat. Namun selalu saja usahaku gagal. Aku tak bisa tersenyum lebar dan ikhlas saat melihat kau tertawa dan tersenyum bersama wanita lain yang bukan kekasihmu. Mengapa kau buat aku seperti ini, adakah sedikit rasamu untukku sehingga kau sengaja melakukan itu agar kau bisa melihat kecemburuanku pertanda aku benar mencintaimu, iya? Kau tega, kau biarkan aku merintih dalam kesakitan ini. Kau tak boleh melakukan itu. Kita semua adalah teman, kau teman baikku, dan wanita itu juga teman kita. Hentikan semua ini, aku tak sanggup lagi menahan tangis ini, tangis dalam kesepian, tangis dalam kesakitan, tangis yang sulit untuk kuhentikan. Benar, hatiku menangis, menangis untukmu, untuk cinta dan cemburu yang kupendam.
          Aku telah belajar ikhlas untuk menerima kenyataan bahwa kau memiliki kekasih yang pasti sangat menyayangimu. Namun aku belum bisa menerimamu yang selalu saja membuatku terbakar api cemburu saat kau bersama wanita lain. Kau tak usah fikirkan aku, kau fikirkan saja kekasihmu. Dia akan sangat marah sepertiku. Tidak, dia yang lebih marah dariku. Percuma kau buat aku cemburu, aku bukan siapa-siapamu, tak usah kau buang waktu untuk membuatku dalam kesal dan amarah, hentikan sandiwaramu, itu kan percuma.
          Disini ku mulai belajar untuk bisa berfikir jernih, kupanjatkan doa dengan segenap harapku kepada sang Khalik, kutenangkan fikiranku dengan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Dan itu berhasil membuatku tenang dalam jiwa yang tentram. Kuharap dikemudian hari aku tetap bisa tersenyum tanpa luka dihati, dan bisa menahan gejolak dalam jiwa. Menahan dan membatasi perasaanku terhadapmu.
          Kau…. Teman baikku, aku sayang dan cinta kepadamu.