Untukmu yang Telah Pergi
Dingin suasana malam dikota
kelahiranku. Malam ini adalah malam terakhir tarawih di bulan ramadhan tahun
ini. Jalanan dipenuhi para muslim yang habis selesai menunaikan tarawih. Tak
hanya itu, jalan raya pun diramaikan oleh berbagai kendaraan, rata-rata
diantara mereka bertujuan mudik ke daerah masing-masing. Ketika mendengar
ataupun mengucapkan kata mudik, seketika hati ini terasa tercabik, sakit dan
sesak ketika melihat orang-orang yang berencana lebaran bersama keluarga besar
mereka di kota, daerah, ataupun kampung halaman masing-masing. Sedang aku
disini, di kota kelahiranku tak terlalu banyak keluarga. Hanya saja aku
bersyukur memiliki banyak teman yang selama ini banyak menemaniku dan mengisi
hariku hingga aku bisa merasakan keceriaan dan kebahagiaan.
Menelusuri jalan menuju pulang dimalam
yang penuh kehangatan, hangat ketika bersama-sama pulang habis menunaikan
tarawih. Seketika mataku berkaca-kaca sendiri. Terlintas di otakku hingga membuat
fikiran ini membuka memori lama setahun lalu yang meninggalkan kesedihan sangat
mendalam. Aku teringat nenek, ibunda mamaku. Hari ini hari dimana 2 hari
sebelum hari raya idul fitri, tepat setahun lalu aku dan keluarga ditinggal
pergi nenek untuk selamanya. Aku tidak tahu tepat apa yang kurasakan, semua
bercampur menjadi satu, sedih, menyesal, gundah, rindu, sesak, semuanya kurasa.
Biasanya nenek selalu menyuruh kami sekeluarga untuk mudik, berlebaran
bersamanya. Ketika nenek masih ada, kami jarang untuk mengabulkan
permintaannya. Aku sekeluarga sibuk dengan urusan masing-masing disini, dikota
ini. Seolah tak ada waktu yang tepat untuk menjenguk nenek disana. Wajar
jikalau nenek sering kecewa. Dan sekarang, ketika semua telah terjadi atas
suratan-Nya, semua tinggal sesal dan kesedihan yang sangat amat mendalam.
Aku telah sampai dirumah, kulepas dan
kugantungkan mukenaku. Aku duduk diatas kasur, dalam kesedihan kukenang seorang
yang sangat kusayangi itu, nenek. Setahun yang lalu, tepat tanggal 28 Ramadhan
1433H (Jumat, 17 Agustus 2012), aku dengan berat hati meninggalkan acara
upacara besar hari kemerdekaan RI. Aku memang sudah lulus dari sekolah, tapi
aku sangat ingin melihat junior-juniorku mengibarkan sang merah putih, melihat
pasukan 8 dimana dulu aku yang berada dalam salah satu posisinya. Semuanya ku
urungkan, aku lebih memilih mudik menjenguk nenekku yang sedang sakit, yang
sedang merindu dan menanti kedatangan 2 orang cucu yang ia sayangi yang telah
lama tak bertemu, aku dan kakakku. Sepanjang perjalanan perasaanku berkecamuk,
aku juga sangat sedih tidak bisa menghadiri sebagai tamu pada upacara hari
kemerdekaan. Di balik kesedihanku aku berfikir keputusan ini tepat, nenek
sangat lebih membutuhkan kehadiranku.
Sesampainya dirumah nenek, aku melihat nenek
terbaring lemah diatas kasurnya. Tak tahan aku melihatnya, air matapun jatuh
tak kusadari membasahi pipi. Segera aku menuju nenek, duduk didekat dimana ia
berbaring. Nenek sudah tak bisa bicara lagi, mulutnya pun sulit untuk ditutup.
Melihat itu ada perasaan tidak enak dalam batinku. Apakah hari ini adalah…….
Segera kutepis pemikiran tololku, aku tak boleh melanjutkannya, siapa tahu saja
nenek bisa sembuh. Ketika Allah berkehendak semuanya bisa saja terjadi, yang
tak mungkin bisa menjadi mungkin.
Aku menangis tersedu tak bersuara, aku
tak bisa berkata-kata terlebih saat nenek berusaha berbicara memanggil namaku.
Nenek sangat fokus melihatku yang tengah menangis dihadapan dimana ia
berbaring. Seketika suasana rumah nenek menjadi haru dan sedih, tak sedikit
yang menangis. Mama pun bilang pukul 9 pagi sebelum kedatangan kami nenek masih
bisa bicara. Ini menambah keganjilan dalam fikiranku. Tidak-tidak, aku tidak
boleh berfikiran buruk. Tiba-tiba nenek meraih tanganku, dan menggenggam erat.
Ketika itu aku semakin terisak, apalagi saat itu kulihat tatapan mata nenek
yang sendu dan sangat dalam menatapku. Aku yakin didalam hatinya nenek sedang
mengatakan sesuatu namun tak bisa mengungkapkannya karena tak bisa bicara lagi.
Lama sekali nenek memandangku dan menggenggam erat tanganku. Tak kulepaskan
genggaman tangan nenek, walaupun aku harus merelakan kakiku kesemutan. Sambil
menonton upacara kemerdekaan di istana merdeka di TV, aku kembali menangis,
menangis sedih karena nenek, juga karena upacara kemerdekaan itu. Kulihat
nenek, ia masih saja memandangiku. Mungkin ia sangat merindukanku juga kakakku.
Telah sangat lama kami tak bertemu. Ketika bertemu, nenek dalam keadaan sakit
seperti sekarang. Tak lama kemudian nenek terlelap tidur, kulepaskan perlahan
tanganku, kuhapus sisa-sisa air mata lalu aku pun berbaring disebelah nenek.
Terlintas difikiranku teringat akan rencana yang telah kupersiapkan dari kota.
Aku akan menghatamkan bacaan Al-Qur’anku dihadapan nenek setelah melewati
setengah dari juz 30. Ya, saat itu bacaanku telah sampai lebih dari setengah
juz 29.
Pada siang hari kami semua berkumpul
diruang depan bersama nenek yang terbaring dengan tenang. Aku dan
sepupu-sepupuku menonton dan tetap didekat nenek. Sedangkan mama, papa, dan
keluarga yang lain duduk didekat nenek seraya melihat keadaan nenek. Saat itu
pukul 2 sore, nenek seperti mengeluarkan busa dari mulutnya, semua panik namun
dikira itu adalah sesuatu yang mengganjal tenggorokkan nenek sejak tadi pagi.
Namun nenek tetap saja tenang dalam tidurnya. Nenek juga terlihat sangat
berkeringat, mama dengan penuh kasih mengelap keringat di wajah dan tubuh
nenek. Sekitar pukul setengah 4 sore, saat adzan ashar berkumandang seisi rumah
kembali panik ketika nenek bertingkah tak biasanya. Nenek mulai bergerak dari
tidurnya, namun nenek bukan bangun namun nenek tidur kembali dan tidur untuk
selama-lamanya. Aku sontak berucap lirih “neneeeek!” ku dekati nenek dan saat
itu wajahnya menguning lalu perlahan memucat. Nenek telah pergi, ia pergi
meninggalkan kami semua. Aku terduduk lemas, memandangi tubuh nenek yang mulai
dikelilingi banyak orang. Pandanganku kosong dan hampa seraya air mata jatuh
dengan deras, seperti saat aku menulis saat ini. Apa yang kurencakan pupus, apa
yang kami sekeluarga rencanakan juga pupus bersamaan kepergian nenek.
Malam lebaran, aku telah sampai pada
juz 30, sebentar lagi aku akan hatam Al-Qur’an untuk pertama kalinya. Saat ku
baca dan kulantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an saat itu pulalah aku menangis
teringat nenek. Harusnya sekarang aku mengaji dihadapan nenek, namun takdir
berkata lain. Sehabis mengaji aku berbaring dikamar bersama 2 orang sepupuku.
Ku dengar diluar sana suara bersahut-sahutan menggemakan takbir dimalam
lebaran. Itu menambahkan kesedihanku dan aku kembali menangis dalam diam.
Melihat keadaanku seperti itu kedua orang sepupuku yang juga cucu nenekku ikut
sedih dan menangis. Terlintas difikiranku, harusnya saat ini kurasakan suasana
hangat keluarga dimalam lebaran dan sama-sama mengucap syukur dan berbahagia
atas kelulusanku disalah satu perguruan tinggi negeri dikotaku. Kembali lagi,
takdir berkata lain. Mungkin disana, di surga sana nenek tengah tersenyum
bahagia atas kelulusanku yang tak sempat kubagi kebahagiaannya bersama nenek.
Saat itu aku telah menginjak usia dewasa dan akan menginjak bangku perkuliahan.
Aku harus membuat nenek terus bangga disana. Dan disaat subuh pada hari
lebaran, akhirnya aku menghatamkan bacaan Al-Qur’anku. Aku bahagia juga
bersedih dan kembali aku menangis dalam diam seraya memeluk erat Al-Qur’anku
dimana aku masih mengenakan mukena, mukena yang sering dipakai nenek ketika
solat dan duduk diatas sajadah.
Kini telah setahun terlewati, tak
terasa aku meneteskan air mata lagi ketika mengingat semua itu. Ramadhan tahun
ini memang banyak diberi Allah kebahagiaan, namun bukan berarti melupakan nenek
yang sekarang pasti tengah berbahagia di surga sana. Aku merindukanmu, nek,
sangat merindukanmu. Aku selalu teringat ketika nenek menggenggam erat
tanganku, namun sayang aku tidak tahu apa yang mau nenek sampaikan saat itu.
Sekarang nenek pasti sudah tahu dan melihatku kalau sekarang aku telah
berjilbab sejak hari pertama kuliah hingga sekarang. Semoga ini seumur hidup
aku mengenakan jilbab, kuharap nenek senang dengan perubahanku yang sekarang
telah memakai jilbab, telah menutup auratku. Tulisan ini untukmu, nenek,
mewakili rasa sedih dan rinduku. Andai saja nenek masih ada, kan ku peluk nenek
dengan erat, kan ku pamerkan pada nenek bahwa cucumu ini telah berjilbab
sekarang dan takkan pernah ku kecewakan nenek :’)
Nenek, semoga engkau bahagia disurga
sana, sangat bahagia :’) . disini kami merindumu…